Rabu, 25 Januari 2012

Hubungan Filsafat dengan Ilmu

Mauren Gitta Miranti S
1104398
maurengitta@yahoo.com



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar belakang
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, filsafat meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Filsafat Yunani kuno yang awalnya merupakan suatu kesatuan kemudian terpecah-pecah. Sebelum abad ke 17 ilmu pengetahuan identik dengan filsafat. Pada perkembangan selanjutanya, yaitu pada abad ke 17 mulai muncul perpisahan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (Ismaun 2001) yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari  filsafat dan ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.

Dalam perkembangannya filsafat melahirkan konfigurasi yang menunjukkan “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar bercabang subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru. Bahkan ke arah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi, seperti spesialisasi-spesialisasi. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu sistem yang saling menjalin dan taat asas (konsisten). Untuk mengatasi perbedaan antara ilmu satu dengan ilmu lainnya dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul, yaitu dijembatani oleh filsafat. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Imanuel Kant (Anton Bakker,1994:2) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu, filsafat disebut sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (The Great Mother of The Science).
Filsafat merupakan pengetahuan ilmiah dan sebagai penerus pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu menempatkan objek sasarannya pada ilmu. Filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menguraikan tentang hubungan filsafat dengan ilmu.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi fokus bahasan dalam makalah ini adalah :
1.      Apakah yang dimaksud dengan filsafat ?
2.      Apakah yang dimaksud dengan ilmu ?
3.      Bagaimanakah sejarah perkembangan filsafat dan ilmu ?
4.      Bagaimanakah hubungan antara filsafat dan ilmu ?

C.    Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa itu filsafat, apa itu ilmu, sejarah perkembangan dan hubungan  antara filsafat dan ilmu.

D.    Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun atas empat bab, yaitu :
1.      Bab I Pendahuluan, berisi mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan sistemetika penulisan.
2.      Bab II Landasan Teori, bab ini berisi mengenai materi yang menunjang dalam menjawab permasalah pada latar belakang yang dirumuskan dalam rumusan masalah.
3.      Bab III Pembahasan, bab ini berisi mengenai pembahasan masalah dengan ditunjang materi serta pandangan penulis.
4.      Bab IV Penutup, bab ini berisi mengenai kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan dari kajian materi ini.

3
 




BAB II

FILSAFAT  DAN  ILMU


A.    Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu; philosophia dan philoshophos. Philosophia berasal dari kata philos dan shopia atau philos dan sophos. Philos berarti cinta dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah (Sudrajat : 2008). Awalnya, kata sofia lebih sering diartikan sebagai kemahiran dan kecakapan dalam suatu pekerjaan, seperti perdagangan dan pelayaran, dalam perkembangannya, dari kata kemahiran  lebih dikhususkan lagi untuk kecakapan di bidang sya’ir dan musik. Seiring berjalannya waktu, pengertian ini berkembang lagi kepada jenis pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia untuk mengetahuikebenaran murni. Sofia dalam arti ini kemudian dirumuskan oleh  Pythagoras bahwa hanya Zat Maha Tinggi (Allah) yang mampu melakukannya, oleh karena itu, manusia hanya dapat sampai pada sifat “pencipta kebijaksanaan”. Pythagoras dalam Sudrajat (2008) mengemukakan bahwa cukup seorang menjadi mulia ketika ia menginginkan hikmah dan berusaha untuk mencapainya.
Harun Hadiwijono (2008) berpendapat bahwa filsafat diambil dari bahasa Yunani, yaitu filosofia.Struktur kata filosofia berasal dari kata filosofien yang berarti mencintai kebijaksanaan. Filsafat menurut Hadiwijono (2008) mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan, artinya seseorang dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan.
Harun Nasution (2008) berpendapat bahwa kata filsafat bukan berasal dari struktur kata philos dan shopia, philos dan shophos atau filosofen. Akan tetapi berasal dari bahasa Yunani yang struktur katanya berasal dari kata philien yang berarti cinta dan shofos yang berarti wisdom. Menurutnya filsafat juga berasa dari dua bahasa, yaitu Fill yang berasal dari bahasa Inggris dan Safah berasal dari bahasa Arab, sehingga kata filsafat adalah gabungan antara bahasa Inggris dan Arab yang berarti berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya.
Ali Mudhafir (2008) mengemukakan bahwa kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata Falsafah (Arab), Phyloshophy (Inggris), Philosophie (Jerman, Belanda dan Perancis). Semua kata tersebut berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philosphia. Kata philosophia terdiri dari dua suku kata, yaitu Philien, Philos dan shopia. Philien berarti mencintai, philos berarti teman dan sophos berarti bijaksana, shopia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, menurut Ali Mudhafir (2008) ada dua arti secara etimologi dari kata filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philien dan shopos, maka  berarti mencintai hal-hal (sifat seseorang) yang bersifat bijaksana (ia menjadi sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan shopia, maka berarti teman kebijaksanaan (filsafat menjadi kata benda).

B.     Makna Filsafat
1.       Filsafat Sebagai Ilmu
Joseph Bohenski (Juhaya,7:2005) berpendapat bahwa filsafat disebut sebagai ilmu karena filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yakni bagaimana, mengapa, apakah dan ke mana, yang penjelasannya yaitu : Pertama, Pertanyaan bagaimana menanyakan tentang sifat-sifat yang tampak dan ditangkap oleh indera. Jawaban atau pengetahuan yang diperoleh dari pertanyaan ini bersifat deskriptif atau penggambaran. Kedua, Pertanyaan mengapa menanyakan tentang asal mula atau sebab suatu obyek. Jawaban atau pengetahuan yang diperoleh bersifat sebab akibat atau kausalitas. Ketiga, Pertanyaan ke mana menanyakan apa yang terjadi di masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Jawaban yang diperoleh terdiri dari :
a.       Pengetahuan yang timbul dari hal-hal yang selalu berulang-ulang atau kebiasaan yang kemudian pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk untuk mengetahui hal yang akan terjadi.
b.      Pengetahuan yang timbul dari pedoman yang terkandung dalam adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini tidak dipermasalahkan tentang pedoman dipakai atau tidak.
c.       Pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai sebagai pegangan.
Keempat, Pertanyaan apakah menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu hal. Hakikat ini sifatnya sangat dalam dan tidak lagi bersifat empiris, sehingga hanya dimengerti oleh akal. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya berguna untuk mengetahui hal-hal yang sifatnya sangat umum, universal dan abstrak.
Menurut Aristoteles (Isamun, 68:2001), filsafat ilmu telah melahirkan cabang-cabang yang terdiri dari :
a.       Logika adalah ilmu pendahuluan bagi terbentuknya filsafat.
b.      Filsafat Teoritis (Filsafat Nazariah) yang mencakup tiga macam ilmu dalam kajiannya, yaitu:
1)      Ilmu Fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini.
2)       Ilmu Matematika yang membahas benda-benda alam dalam kuantitasnya.
3)       Ilmu Metafisika yang membahas tentang hakikat segala sesautu.
c.    Filsafat Praktis (Falsafah Amaliah), dalam kajiannya ada beberapa macam cabangnya, yaitu:
1)      Ilmu Etika yang mengatur tentang kesusilaan dan kebahagian dalam hidup seseorang.
2)      Ilmu Ekonomi yang mengatur tentang kesusilaan dan kemakmuran dalam keluarga.
3)      Ilmu Politik yang mengatur tentang kesusilaan dan kemakmuran dalam negara.
d.   Filsafat Poetika (Kesenian) dalam cabang ilmu ini diatur tentang masalah hubungan filsafat dengan seni dan ditinjau aspek cara mempelajarinya.
Dari kajian diatas dapat dilihat bahwa kajian filsafat bukan hanya masalah pemikiran semata yang berkaitan dengan teori yang besar, akan tetapi sangatlah berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari.
         

2.       Filsafat Sebagai Cara Berpikir
Berpikir secara filsafat dapat diartikan sebagai berpikir yang sangat mendalam sampai pada hakikat atau berpikir secara global, menyeluruh atau berpikir yang dilihat dari berbagai sudut pandang pemikiran atau sudut pandang ilmu pengetahuan. Berfilsafat sebagai upaya untuk dapat berpikir secara tepat dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan harus memenuhi persyaratan berikut :
a.      Sistematis
Pemikiran yang sistematis ini dimaksudkan untuk menyusun suatu pola pengetahuan yang rasional dan sistematis, yang masing-masing unsur saling berkaitan satu dengan yang lain secara teratur dalam keseluruhan. Sistematika pemikiran seorang filosof banyak dipengaruhi oleh keadaan dirinya, lingkungan, zamannya, pendidikan dan sistem pemikiran yang mempengaruhi.
b.      Konsepsional
Secara umum istilah konsepsional berkaitan dengan ide yang melekat pada akal pikiran seorang ilmuan atau intelektual. Gambaran tersebut mempunyai bentuk tangkapan sesuai dengan riilnya. Gambaran tersebut mempunyai bentuk tangkapan sesuai dengan riilnya, sehingga maksud dari konsepsional tersebut sebagai upaya untuk menyusun suatu bagian yang terkonsepsi, karena berpikir secara filsafat sebenarnya berpikir tentang hal dan prosesnya.
c.       Koheren
Koheren atau runtut adalah unsur-unsurnya tidak boleh mengandung uraian-uraian yang bertentangan satu sama lain. Di dalam koheren memuat suatu kebenaran logis. Sebaliknya, apabila suatu uraian yang di dalamnya tidak memuat kebenaran logis, maka uraian tersebut dikatakan sebagai uraian yang tidak koheren.
d.      Rasional
Maksud rasional adalah unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Artinya pemikiran filsafat harus diuraikan dalam bentuk logis, yaitu suatu bentuk kebenaran yang mempunyai kaidah-kaidah berpikir.
e.    Sinoptik
Sinoptik artinya pemikiran filsafat harus melihat hal-hal secara menyeluruh atau dalam kebersamaan secara integral.
f.     Mengarah kepada dunia
Maksudnya adalah pemikiran filsafat sebagai upaya untuk memahami semua realitas kehidupan dengan jalan menyusun suatu pandangan hidup dunia termasuk di dalamnya menerangkan tentang dunia dan semua hal yang berada di dalam dunia.

3.      Filsafat Sebagai Pandangan Hidup
Filsafat dikatakan sebagai pandangan hidup karena filsafat pada hakikatnya bersumber pada hakikat kodrat pribadi manusia. Hal ini berarti bahwa filsafat berdasarkan pada penjelmaaan manusia secara total dan sentral sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk monodualisme (manusia secara kodrat terdiri dari jiwa dan raga).
Manusia secara total dan sentral di dalamnya memuat sekaligus sebagai sumber penjelamaan bermacam-macam filsafat sebagai berikut :
a.       Manusia dengan unsur raganya dapat melahirkan filsafat biologi.
b.      Manusia dengan unsur rasanya dapat melahirkan filsafat keindahan (estetika).
c.       Manusia unsur monodualismenya dapat melahirkan filsafat antropologi.
d.      Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dapat melahirkan filsafat Ketuhanan.
e.       Manusia sebagai makhluk sosial dapat melahirkan filsafat sosial.
f.       Manusia sebagai makhluk berakal dapat melahirkan filsafat berpikir (logika).
g.      Manusia dengan unsur kehendaknya untuk berbuat baik dan buruk dapat melahirkan filsafat tingkah laku (etika).
h.      Manusia dengan unsur jiwanya dapat melahirkan filsafat psikologi.
i.        Manusia dengan segala aspek kehidupannya dapat melahirkan filsafat nilai (aksiologi).
j.        Manusia dan sebagai warga negara dapat melahirkan filsafat Negara.
k.      Manusia dengan unsur kepercayaannya kepada unsur supernatural dapat melahirkan filsafat agama.
Filsafat sebagai pandangan hidup merupakan suatu pandangan hidup yang dijadikan dasar  setiap tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, juga dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam hidup.

4.      Filsafat Sebagai Penyejuk
      Filsafat dikatakan sebagai penyejuk karena dalam kajiannya memuat berbagai kandungan ilmu pengetahuan dan seni yang dapat membawa pikiran manusia ke suatu alam tersendiri, sehingga ia dapat mengetahui keberadaan hidupnya.
      Orang yang memahami filsafat, berarti ia mengetahui asal muasal hidupnya dan muncul pandangan dalam hidupnya tentang dari mana asalnya, sekarang berada di mana dan nantinya akan ke mana. Apabila ia menyadari tentang keberadaan dirinya, maka muncul suatu ketenangan dan penyejuk bagi dirinya. Terutama pada filsafat agama, mengajarkan manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindarkan diri dari perbuatan tercela. Pandangan tersebut menggambarkan bahwa alur hidup manusia diperhadapkan dua sisi kehidupan, yakni sisi kebajikan dan kejahatan. Apabila sisi kebajikan mendominasi kehidupannya, maka akan tercapai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya apabila sisi kejahatan yang mendominasi hidupnya, maka kesengsaraan dan penderitaan yang dialaminya.
         
5.      Filsafat Sebagai Pengendalian Diri
      Dalam ajaran filsafat terdapat dasar-dasar pemikiran logika, etika dan estetika. Pandangan demikian dapat membawa manusia kepada proses untuk bertindak lebih arif dan bijaksana. Seseorang tidak akan cepat mengambil keputusan sebelum memikirkan sematang-matangnya tentang apa yang hendak dilakukan.
      Alternatif yang dapat ditempuh dalam mencari solusi dari perilaku jahat adalah pengendalian diri. Mengendalikan diri berarti mengupayakan untuk menghindari perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran filsafat.

C.    Pengertian Ilmu
M.Quraish Shihab (2008) mengemukakan bahwa ilmu berasal dari bahasa Arab, yaitu‘alama. Arti dasar dari kata tersebut adalah pengetahuan. Penggunaan kata ilmu dalam proposisi bahasa Indonesia sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris. Kata science sebenarnya bukan bahasa Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, yaitu scio atau scire yang berarti pengetahuan.Selain itu, ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari kata scientia yang berarti pengetahuan. Scientia berasal dari bahasa Latin, yaitu scire yang artinya mengetahui. Terlepas dari berbagai perbedaan asal kata, maka pengertian science adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dipakai dalam bahasa Indonesia, memiliki kata dasar “tahu”. Secara umum pengertian dari kata “tahu” menandakan adanya suatu pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman dan pemahaman tertentu yang dimiliki oleh seseorang.
Athur Thomson dalam Shihab (2008) mendefinisikan ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam perwujudan istilah yang sangat sederhana. Menurut S. Hornby ilmu adalah sebagai: Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact (ilmu adalah susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta). Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia, menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula.
Poincaredalam Shihab (2008) menjelaskan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang tersembunyi (science consist entirely of convertions in the sence of disguised definitions). Le Ray (2008) menjelaskan bahwa “Science consist only of consecrations and it is solely to this circumstance that is owes its apparent certainlyand cannot teach us the truth, it’s can serve us only as a rule of action (ilmu tidak mengajarkan tentang kebenaran, ia hanya menyajikan sejumlah kaidah dalam berbuat). Dari beberapa definisi ilmu di atas, maka kandungan ilmu berisi tentang; hipotesa, teori, dalil dan hukum.Penjelasan tersebut juga menyiratkan bahwa hakekat ilmu bersifat koherensi sistematik. Artinya, ilmu sedikit berbeda dengan pengetahuan. Ilmu tidak memerlukan kepastian kepingan-kepingan pengetahuan berdasarkan satu putusan tersendiri, ilmu menandakan adanya satu keseluruhan ide yang mengacu kepada objek atau alam objek yang sama saling berkaitan secara logis.
Setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Ilmu akan memuat sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang sepenuhnya belum dimantapkan. Oleh karena itu, ilmu membutuhkan metodologi, sebab dan kaitan logis.Ilmu memerlukan pengamatan dan kerangka berpikir metodik serta tertata rapi. Alat bantu metodologis yang penting dalam konteks ilmu adalah terminology ilmiah.

D.    Sejarah Perkembangan Filsafat dan Ilmu
1.      Titik Tolak Historis : Ilmu  sebagai Filsafat
Pada zaman Yunani kuno, sejak lahirnya filsafat dan ilmu merupakan jalinan yang tidak dapat terpisahkan.Pada masa ini tidak terdapat pembedaan antara filsafat dan ilmu. Juga tidak dikenal pengertian  ilmu seperti pada masa  sekarang. Fenomena ini sudah tercermin  dari pemikiran  filsuf pertama, Thales, bahwa ilmu sebagai bagian dari filsafat. Ilmu sama halnya  dengan filsafat menyangkut objek  material tertentu,  seperti tentang alam materi (fisik), walaupun terdapat perbedaan dari segi objek material, yaitu ilmu sebagaimana ilmu yang pada masa sekarang.Pada masa itu merupakan filsafat  kealaman atau juga diistilahkan  sebagai filsafat kedua  dalam taksonomi aristoteles, yang mengkaji  objek-objek fisik (konkrit atau eksak) secara empiris.
Secara historis, filsafat dan ilmu memiliki akar terminologis  yang sama yaitu episteme yang kemudian  berkembang menjadi istilah philosophia. Istilah philosophia  pertama kali diperkenalkan oleh Pythagoras (abad ke 6 SM) yang berarti cinta kebijaksanaan. Dan pencinta kebijaksaan dinamakan philosophos  (filsuf). Menurut Aristoteles, episteme merupakan “an organized  body of rational knowledge with its proper object”  (suatu kumpulan  pengetahuan rasional  yang teratur dan memiliki  objek tertentu). Filsafat dan ilmu adalah pengetahuan rasional, pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran-pemikiran rasional. Atas dasar persamaan ini ilmu juga dipandang  identik dengan filsafat  atau dijuluki juga sebagai filsafat.
Peristiwa lahirnya filsafat pada abad ke-6 SM, di Yunani, menanadai terciptanya sejarah  pergeseran paradigma pemikiran manusia dari  pandangan-pandangan mitologis  ke pola-pikir logis secara intelek atau rasional. Dari pendekatan-pendekatan  praktis-alamiah menuju kerangka berpikir  teoritis-ilmiah, pemikiran filsafat pada masa tersebut tidak hanya dipahami sebagai filsafat dalam pengertian sempit, tetapi mencakup pemikiran ilmiah pada umumnya. Pemikiran filsafat yang lahir di Yunani bukan hanya sebagai cikal-bakal filsafat sistematis sebagaimana  yang dikenala pada masa sekarang. Tetapi sekaligus juga sebagai “nenek moyang” pemikiran ilmiah yang berkembang dewasa ini.Oleh karena itu para filsuf  yang  seperti Descartes, Kant, Hegel, atau Husserl  dan para ilmuan seperti Newton, Planck, atau Einstein memiliki leluhur yang sama di negeri Yunani.
Eratnya hubungan antara ilmu dan filsafat juga dapat dipahami dari  berbagai persepsi muncul dikalangan para pemikir, seperti Francis Bacon yang mengartikan filsafat sebagai induk dari ilmu-ilmu. Henry Sidgwick  memandang filsafat sebagai ilmu  dari ilmu-ilmu ( Scentia Scientiarum ). Seluruh cabang ilmu berakar dari filsafat sebagai dasarnya yang paling fundamental. Tidak satupun ilmu atau cabang-cabang ilmu ilmu yang dapat berdiri sendiri atau terlepas eksistensinya dari filsafat sebagai landasan  historisnya. Hubungan ilmu dan filsafat terjalin dalam bingkai pengetahuan rasional.Sebuah konstruksi pengetahuan teoritis (Body of Knowledge) yang diilhami oleh penalaran logis dan tersususn secara sistematis.

2.      Perkembangan Dikotomis: Ilmu versus Filsafat
Jalinan kesatuan antara ilmu dengan filsafat dalam pengertian bahwa ilmu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari filsafat, tidaklah bertahan sampai  pada masa sekarang. Peristiwa ini dapat disaksikan melalaui peta perkembangan ilmu yang semakain pesat sejaka masa Renaissance (abad ke 14-16) sebagai inspirator utama modernisme.Lahirnya zaman Renaissance di Barat disinyalir sebagai peristiwa sejarah yang paling monumental  bagi terciptanya paradigma baru dalam bidang keilmuan dan dunia kefilsafatan. Dalam bidang keilmuan, zaman Renaissance melahirkan dominasi Copernican Revolution (Revolusi Kopernikan) yang telah menggeser otoritas pemahaman tentang alam versi Aristotelian  yang telah sekian lama menguasai zaman Pertengahan. Sedangkan dalam dunia kefilsafatan, pengaruh Renaissance memunculkan dominasi Cartesian Revolution (Revolusi Kartesian) yang memberikan ekspresi filsafat kepada pandangan mekanis tentang alam  sebagi tonggak filsafat Zaman modern.
Pada zaman Renaissance manusia seakan terlahir kembali dalam dunia yang sama sekali berbeda dengan periode zaman-zaman sebelumnya. Manusia dipandang telah menemukan  jati diri yang sebenarnya, munculnya liberalisme intelektual  dan kemerdekaan humanisme, serta menjamurnya kemajuan ilmu-ilmu alam  dengan lahirnya  berbagai penemuan-penemuan spektakuler yang  tidak pernah terjadi sebelumnya. Perkembangan ilmu-ilmu yang terjadi sejak masa Renaissance  seiring dengan berkembangnya metode eksperimental ilmu-ilmu kealaman  sebagai metode yang terbukti paling berhasil pada masa itu. Namun perkembangan dan keberhasilan tersebut pada gilirannya justru menimbulkan akses dikotomis antara ilmu dan filsafat yang di tandai oleh lepas-landasnya ilmu-ilmu cabang dari filsafat sebagai induknya. Fenomena ini diawali oleh ilmu-ilmu alam, terutama fisika, yang memisahkan dari filsafat, melalui tokoh-tokoh  revolusioner seperti Copernicus, Galileo, Kepler, Versalinus, dan Newton.  Sampai abad ke 18 fisika masih merupakan bagian dari filsafat, sebagai filsafat alam.Tetapi sejak pertengahan abad ke 19,fisika, juga kimia dan biologi pada umumnya dinamakan ilmu-ilmu kealaman dan bukan merupakan cabang-cabang dari filsafat alam.Karena sudah terlepas dari filsafat.
Perkembangan dikotomis tersebut selanjutnya diikuti oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan politik, yang juga memisahkan diri dari filsafat dan menjadi ilmu-ilmu khusus (ilmu-ilmu cabang) yang berdiri sendiri.Pemisahan ini semakin memperbesar jurang perbedaan antara ilmu dan filsafat.Perbedaan yang paling menonjol antara ilmu dan filsafat, terutama sekali, terletak pada cirinya masing-masing.
Dewasa ini ilmu-ilmu seperti fisika, biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial seperti ekonomi,sosiologi, ilmu hukum dan ilmu politik semuanya secara pasti menjadi ilmu-ilmu empiris. Ciri empiris inilah yang merupakan ciri umum ilmu-ilmu tersebut   yang membedakannya dari filsafat. Lewis juga menambahkan  bahwa ciri empiris, sebagai ciri umum ilmu. Telah memperoleh legitimasi melalui kesepakatan para ilmuan dan para filsuf. Ciri empiris ini pada dasarnya merupakan ciri ilmu-ilmu kealaman yang bertumpu pada generalisasi-generalisasi yang berdasarkan pengamatan (observasi) dan eksperimentasi, kecendrungan semacam ini selanjutnya merambah wilayah ilmu-ilmu sosial maupun psikologi dipandang ilmiah (valid dan benar) sejauh memiliki ciri empiris tersebut alias bercirikan model penyelidikan ilmu-ilmu alam.
Pemaksaan model pendekatan empiris dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora (ilmu-ilmu human) kelihatannya lebih didasarkan pada aspek historis keberhasilan ilmu-ilmu alam dalam mendekati dan menguasai alam relatif secara memuaskan sebagaimana yang terjadi sejak masaRenaissance. Di sisi lain pendekatan empiris dinilai lebih objektif dalam mendeskripsikan fakta-fakta tentang manusia (sebagai objek) sebagaimana halnya dalam menjelaskan (eksplanasi) fenomena alam. Meskipun Wilhelm Dilthey secara tegas dan terang-terangan menolak pemaksaan metode eksplanasi (explanation atau erklaeren) untuk ilmu-ilmu kemanusian (Geisteswissenschaften) dan menawarkan metode verstehen  (understanding) sebagai gantinya, tetapi sampai masa sekarang pemaksaan tersebut secara umum masih berlaku dalam dunia keilmuan.
Konsenkuensi  dari penekanan ciri empiris  ilmu juga berbias  pada aspek dikotomis filsafat dan ilmu menjadi semakin meluas. Dikotomi ilmu dan  filsafat tidak hanya  terletak pada  perbedaan ciri umum (ciri umum ilmu: empiris versus ciri  umum filsafat: spekulatif atau reflektif). Tetapi juga pada perbedaan metodologi (metode ilmiah versus metode filsafat).Azas pembuktian (pembuktian ilmiah versus pembuktian filosofis) sampai pada persoalan tentang kebenaran (kebenaran ilmiah versus kebenaran filosofis) dan seterusnya.
Melalui ciri empiris itu pula ilmu telah berhasil menciptakan berbagai kemajuan seperti  peningkatan produktivitas. Efektivitas dan efisiensi kinerja manusia, serta menawarkan  berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia  yang semakin dapat dirasakan  pada masa sekarang. Kemajuan-kemajuan  tersebut juga tercermin  dari keunggulan-keunggulan produksinya dengan terciptanya teknologi-teknologi mutakhir, informatika, industrialisasi, komputerisasi dan sebagainya yang dewasa ini semakin  tersosialisasi. Kendatipun semua itu tidak terlepas dari krirtik dan kelemahan-kelemahan karena efek negatif yang ditimbulkan.
Filsafat tidak bercirikan empiris (observatif-eksperimental) sebagaimana halnya ilmu, sehingga tidak memproduksi semua kemajuan tersebut, kecuali sebatas meletakkan dasar-dasar fundamental bagi ilmu-ilmu. Maka tidaklah mengherankan jika muncul berbagai kritik dan sikap ironis  dari kalangan awam maupun kelompok ilmuan tertentu terhadap filsafat. Filsafat  dinilai tidak pernah maju  atau semakin tertinggal dibandingkan ilmu, sementara ilmu dikukuhkan sebagai primadona  yang dipandang mampu mewujudkan berbagai harapan dan cita-cita manusia.
Otoritas ilmu bukan saja telah menggeser kedudukan filsafat, atau menjauhkan diri dari filsafat lantaran filsafat hanya dinilai berhaluan spekulatif alias tidak empiris, atau memiliki kecendrungan yang kuat kearah pemikiran metafisik. Lebih dari itu, otoritasilmu dewasa ini ini kelihatannya tampil sebagai “imperium” baru yang diperkokoh oleh legitimasi-legitimasi kultural, politik dan ideologis manusia. Jika ini yang terjadi, jurang dikotomis antara ilmu dan filsafat semakin memuncak dan berbias pada kontroversi ilmu dan filsafat yang lebih ekstrim sebagaimana yang terlintas didalam  keprihatinan Bertrand Russels. Menurutnya “antara  teologi dan ilmu terletak  suatu daerah tak bertuan, daerah ini diserang baik oleh teologi maupun ilmu. Daerah tak bertuan ini adalah Filsafat”.  

  

15
 

BAB III

HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU


A.    Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Filsafat Yunani Kuno merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).Lebih lanjut Nuchelmans (1982) mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Menurut Van Peursen (1985) dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Koento Wibisono (1999) menjelaskan bahwa terdapat suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur.Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru, bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi.Hal tersebut sesuai seperti yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, manusia dapat berpendapat bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.

Pada dasarnya filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofi untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dan disiplin ilmu masing-masing agar dapat menampilkan teori subtantif. Selanjutnya secara teknis dihadapkan dengan bentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing.
Paul Edward (Anton Bakker, 38:1994) berpendapat bahwa kajian yang dibahas dalam filsafat ilmu adalah meliputi hakekat (esensi) pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti; ontologi ilmu, epistimologi ilmu dan aksiologi ilmu. Dari ketiga landasan tersebut bila dikaitkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan maka letak filsafat ilmu itu terletak pada ontologi dan epistimologinya. Ontologi disini titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki seorang ilmuwan, jadi landasan ontologi ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang ilmuwan terhadap realitas.
Manakala realitas yang dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu empiris. Manakala realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu humanoria. Sedangkan epistimologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang di dasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran.
            Ada banyak hal yang menjadi titik temu antara filsafat dengan berbagai ilmu pengetahuan. Dalam beberapa abad terakhir, filsafat ilmu telah mengembangkan kerja sama yang baik dengan berbagai ilmu pengetahuan. Banyak diantara filsuf terkenal yang telah memberikan kontribusinya kepada ilmu pengetahuan. Misalnya Leibniz ikut serta dalam penemuan “hitung differensial”. Kedua-duanya menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha untuk menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Keduanya juga menunjukkan sikap kritik, dengan pikiran terbuka dan kemauan yang tidak memihak, serta untuk mengetahui kebenaran. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan yang teratur.
            Ilmu membekali filsafat ilmu dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat penting untuk membangun filsafat ilmu. Tiap filosof dari suatu periode lebih condong untuk merefleksikan pandangan ilmiah pada periode tersebut. Sementara itu, ilmu pengetahuan melakukan pengecekan terhadap filsafat dengan menghilangkan ide-ide yang tidak disukai dengan pengetahuan ilmiah.
            Filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya dalam pandangan hidup yang lebih sempurna dan terpadu. Dalam hubungan ini, kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong manusia untuk menengok kembali ide-ide dan interpretasi dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang-bidang lain. Misalnya, konsep evolusi mendorong manusia untuk meninjau kembali pemikiran manusia. Kontribusi yang lebih jauh yang diberikan filsafat ilmu terhadap ilmu pengetahuan adalah kritik  tentang asumsi, postulat ilmu dan analisa kritik tentang istilah-istilah yang dipakai.
            Pertentangan antara ilmu dengan filsafat pada umumnya menunjukkan pada kecondongan atau titik penekanan dan bukan pada penekanan yang mutlak. Ilmu-ilmu tertentu menyeliki bidang-bidang yang terbatas dan mencoba melayani seluruh manusia. Filsafat lebih bersifat inklusif atau tidak eksklusif (Ismaun, 43:2001). Filsafat berusaha untuk memasukan dalam kumpulan pengetahuan yang bersifat umum, untuk segala bidang dan untuk pengalaman manusia pada umumnya. Filsafat berusaha untuk mendapatkan pandangan yang slebih komprehensif tentang benda-benda. Jika ilmu dalam pendekatannya lebih analitik, maka filsafat lebih sintetik dan sinoptik dalam menghadapi sifat-sifat dan kualitas kehidupan secara keseluruhan. Ilmu berusaha untuk menganalisis seluruh unsur yang menjadi bagian-bagiannya serta menganalisis seluruh anggotanya. Filsafat berusaha mengembangkan benda-benda dalam sintesa yang interpretatif dan menemukan arti hakiki benda-benda. Jika ilmu berusaha untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi dan menganggap sepi nilai-nilai demi menghasilkan objektivitas, maka filsafat lebih mementingkan personalitas, nilai-nilai dan juga pengalaman.

            Ilmu dan filsafat kedua-duanya memberikan penjelasan-penjelasan dan arti-arti dari objeknya masing-masing. Orang lebih menekankan pentingnya deskripsi, hukum-hukum, fenomena dan hubungan sebab musabab. Filsafat mementingkan hubungan-hubungan antar fakta-fakta khusus dengan bagian yang lebih besar. Ilmu menggunakan pengamatan, eksperimen dan pengalaman inderawi, sedangkan filsafat berusaha menghubungkan penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakekat kebenaran.
Perbedaan antara ilmu dan filsafat dalam bagian besar adalah perbedaan derajat dan penekanan. Ilmu lebih menekankan kebenaran yang bersifat logis dan objektif.  Sementara filsafat bersifat radikal dan subjektif. Ilmu bisa berjalan mengadakan penelitian, selama objeknya bisa diindera, dianalisis dan dieksperimen manakala objeknya sudah dapat diindera, dianalisis dan dieksperimen, maka berhentilah ilmu sampai di situ. Sementara filsafat justru mulai bekerja ketika ilmu sudah tidak bisa berbicara apa-apa tentang suatu objek. Sekalipun demikian, bukan berarti ilmu tidak penting bagi filsafat, justru filsafat pun bekerja dengan bantuan ilmu. Banyak filsuf yang mendapat pendidikan tentang metode ilmiah dan mereka saling memupuk perhatian dalam beberapa disiplin ilmu. Filosof maupun ahli ilmu kedua-duanya mendapat gambaran yang lebih luas, jika mereka saling memahami dan menghargai disiplin ilmu masing-masing.
Cara mengatasi permasalahan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Pernyataan tersebut senada dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kunto Wibisono dkk (1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat.Francis Bacon dalam The Liang Gie (1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Koento Wibisono dkk (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler dalam The Liang Gie (1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu.Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman dalam Koento Wibisono (1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah. Hubungan antara ilmu dengan filsafat dapat dijelaskan dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri, menurut Will Durant dalam Jujun S. Suriasumantri (1982:22). Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.

B.     Perbandingan Antara Ilmu dan Filsafat
Louis Kattsoff dalam Sunny (2009) menjelaskan bahwa bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dalam beberapa objek saling melengkapi.Hanya saja bahasa yang dipakai dalam filsafat mencoba untuk berbicara mengenai ilmu pengetahuan, dan bukanya di dalam ilmu pengetahuan.Filsafat dalam usahanya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan harus memperhatikan hasil-hasil ilmu pengetahuan.Ilmu pengetahuan dalam usahanya menemukan rahasia alam kodrat haruslah mengetahui anggapan kefilsafatan mengenai alam kodrat tersebut.
Filsafat mempersoalkan istilah-istilah terpokok dari ilmu pengetahuan dengan suatu cara yang berada di luar tujuan dan metode ilmu pengetahuan. Dalam hubungan ini Harold H. Titus menerangkan: Ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi yang faktual dan deskriptif, yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat. Banyak ilmuwan yang juga filsuf. Para filsuf terlatih di dalam metode ilmiah, dan sering pula menuntut minat khusus dalam beberapa ilmu sebagai berikut:
1.      Historis, mula-mula filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana juga filsuf identik dengan ilmuwan.
2.      Objek material ilmu adalah alam dan manusia. Sedangkan objek material filsafat adalah alam, manusia dan ketuhanan.
Perbedaan filsafat dengan ilmu adalah filsafat menyelidiki, membahas, serta memikirkan seluruh alam kenyataan, dan menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain. Harold memandang satu kesatuan yang belum dipecah-pecah serta pembahasanya secara kesuluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu lain atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini, misalnya ilmu hayat membicarakan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia; ilmu bumi membicarakan tentang kota, sungai, hasil bumi dan sebagainya.
Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab-akibat, tetapi menyelidiki hakikatnya sekaligus, sedangkan ilmu vak membahas tentang sebab dan akibat suatu peristiwa.  Dalam pembahasan filsafat menjawab apa sebenarnya, dari mana asalnya, dan hendak ke mana perginya, sedangkan ilmu vak harus menjawab pertanyaan bagaimana dan apa sebabnya. Sebagian orang menganggap bahwa filsafat merupakan ibu dari ilmu-ilmu vak. Alasannya ialah bahwa ilmu vak sering menghadapi kesulitan dalam menentukan batas-batas lingkungannya masing-masing. Misalnya batas antara ilmu alam dengan ilmu hayat, antara sosiologi dengan antropologi.Ilmu-ilmu itu dengan sendirinya sukar menentukan batas-batas masing-masing.Suatu instansi yang lebih tinggi, yaitu ilmu filsafat, itulah yang mengatur dan menyelesaikan hubungan dan perbedaan batas-batas antara ilmu-ilmu vak tersebut.

Pembahasan hubungan antara filsafat dan ilmu, dapat dilihat pada perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini:

Tabel 3.1  Perbandingan Ilmu dengan Filsafat
Ilmu
Filsafat
Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti
Obyek penelitian yang terbatas





Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai tertentu.


Bertugas memberikan jawaban
Mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan. Keseluruhan yang ada.

Menilai obyek renungan dengan suatu makna, misalkan , religi, kesusilaan, keadilan dsb.

Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu
Sumber: Agraha Suhandi (1992)

C.    Peran Dilsafat dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Ismaun (2001:52) ilmu pengetahuan ilmiah harus diperoleh dengan cara sadar, melakukan sesuatu tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilimiahnya (kesahihan). Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik.
Pada kenyataannya filsafat ilmu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern yang ada sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh pemikiran manusia. Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern.
Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses penciptaan ilmu pengetahuan. Akumulasi penelaahan empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir secara empiris. Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah.
Pemahaman rasional mengandung makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.  Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan.
Kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila ilmu pengetahuan yang dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia.




24
 

BAB IV

KESIMPULAN  DAN  REKOMENDASI



A.    Kesimpulan
Filsafat adalah ilmu yang memberikan suatu integrasi guna mendekatkan manusia pada nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya dan dapat memilah hal yang baik serta hal yang buruk. Sebagai ilmu, filsafat telah melahirkan berbagai cabang ilmu yang mengkaji masalah pemikiran yang berkaitan dengan teori besar maupun berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Hubungan antara ilmu dan filsafat telah berlangsung dalam rentang sejarah yang begitu panjang. Sejak lahirnya filsafat sekitar abad ke 6 SM. Ilmu dipandang identik dengan filsafat dalam jalinan yang tidak terpisahkan, tetapi sejak pertengahan abad ke 19 ilmu dibedakan dengan filsafat karena ilmu sudah berdiri sendiri terlepas dari filsafat. Perbedaan ini terjadi secara dikotomis yang memicu pertentangan antara ilmu dan filsafat sehingga hubungan ilmu dan filsafat menjadi tidak harmonis.
Harmonisasi hubungan antara ilmu dan filsafat kembali terjalin ketika filsafat ilmu mulai berkembang, terutama pada abad ke 20.Melalui filsafat ilmu yang berobjek formal filsafat dan terobjek material ilmu.Filsafat dan ilmu dapat berinteraksi secara positif. Saling menopang, dan saling berdialog tanpa saling mereduksi satu sama lain. Perkembangan dan kemajuan ilmu tanpa saling mereduksi satu sama lain. Perkembangan dan kemajuan ilmu menuntut peran dan keterlibatan filsafat (filsafat ilmu).Terutama kritik filosofis yang sangat berguna bagi pengembangan ilmu-ilmu.Perkembangan filsafat(filsafat ilmu) juga tidak terlepas dari andil perkembangan ilmu yang semakin pesat sebagai lahan penyelidikannya. Pola interaksi ini berlangsung tanpa mengganggu otonomi, eksistensi dan otoritas ilmu maupun filsafat, sehingga ilmu dan filsafat dapat beriring-bersandung dalam proses perjalanannya sejarahnya masing-masing.


 B.     Rekomendasi
Untuk dapat memahami filsafat dan ilmu secara utuh, maka dibutuhkan penyelidikan yang terus-menerus dengan menggunakan suatu metode berpikir ilmiah sehingga hasilnya tertampung dalam suatu system yang berdasar pada hukum-hukum logika.
Kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam membangun ilmu pengetahuan membawa dampak pada kebutuhan adanya rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Agar ilmu pengetahaun dapat dibangun dan dikembangkan serta memiliki kesahihan, maka harus memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif.

  


DAFTAR  PUSTAKA

.

Koento Wibisono. (1997). Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: LP3 UGM.
Mulyono, Agung (2008).Pengertian Pengetahuan, Ilmu dan Filsafat. Jakarta.

Suhandi, Agraha. (1992). Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya.(Diktat Kuliah).Bandung : Fakultas Sastra UNPAD.

Sudrajat, Akhmad. (2008). Hubungan Filsafat dengan Ilmu . Jakarta.


Sunny.(2009). Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta.

Suriasumantri, Jujun S. (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan.

Suriasumantri, Jujun S. (1990) Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Popular. Jakarta: Pustaka Sinar.

The Liang Gie.(1984). Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.

The Liang Gie.(1997). Pengantar Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Liberty.



Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul l . Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI. hal. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar