Rabu, 25 Januari 2012

ANOMALI DAN MUNCULNYA PENEMUAN ILMIAH


Mauren Gitta MS
1104398
maurengitta@yahoo.com

BAB I
LAPORAN BUKU


A.    lmu Pengetahuan Ilmiah
1.      Metode Ilmiah
Metode ilmiah menurut Chandra (2010) adalah suatu pengerjaan terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh tolerelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Karena itu, penelitian dan metode ilmiah mempunyai hubungan yang dekat sekali. Dengan adanya metode ilmiah, pertanyaan-pertanyaan dalam mencari dadil umum akan mudah terjawab. Menurut Almadk (1939) metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan pengesahan dan penjelasan kebenaran, dan menurut Ostle (1975) metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh suatu interelasi.


2.      Karakteristik Sains (Ilmu Pengetahuan)
Randall dan Buchler dalam Sudrajat (2008) mengemukakan beberapa ciri umum ilmu, yaitu : hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama, hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan, dan obyektif tidak bergantung pada pemahaman secara pribadi. Pendapat senada diberikan  oleh Ralph Ross dan Enerst Van den Haag bahwa ilmu memiliki sifat-sifat rasional, empiris, umum, dan akumulatif (Uyoh Sadulloh,1994:44). Menurut Lorens Bagus (1996:307-308) tentang pengertian ilmu dapat didentifikasi bahwa salah satu sifat ilmu adalah koheren yakni tidak kontradiksi dengan kenyataan. Sedangkan berkenaan dengan metode pengembangan ilmu, ilmu memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang reliable, valid, dan akurat. Artinya, usaha untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan alat ukur yang memiliki keterandalan dan keabsahan yang tinggi, serta penarikan kesimpulan yang memiliki akurasi dengan tingkat siginifikansi yang tinggi pula, serta dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal. Sementara itu, Ismaun (2001) menjelaskan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut :
a.       Obyektif; ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak berdasarkan pada emosional subyektif,
b.      Koheren; pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi dengan kenyataan;
c.       Reliable; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi,
d.      Valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi, baik secara internal maupun eksternal,
e.       Memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum,
f.       Akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi, dan
g.      Dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.

B.     Ilmu Pengetahuan Normal
Thomas Kuhn dalan Syekhu (2009)  membedakan adanya dua tahap atau periode dalam setiap ilmu, yakni periode pra-paradigmatik dan periode ilmu normal (normal science). Pada periode pra-paradigmatik, pengumpulan fakta atau kegiatan penelitian dalam bidang tertentu berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan tanpa mengacu pada perencanaan atau kerangka teoritikal yang diterima umum. Pada tahap pra-paradigmatik ini sejumlah aliran pikiran yang saling bersaing, tetapi tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara umum. Namun perlahan-lahan, salah satu sistem teoritikal mulai memperoleh penerimaan secara umum, dan dengan itu paradigma pertama sebuah disiplin terbentuk. Dengan terbentuknya paradigma itu, kegiatan ilmiah dalam sebuah disiplin memasuki periode ilmu normal atau sains normal (normal science).
Menurut  Kuhn “ilmu normal” adalah kegiatan penelitian yang secara teguh berdasarkan satu atau lebih pencapaian ilmiah (scientific achievements) di masa lalu, yakni pencapaian-pencapaian yang oleh komunitas atau masyarakat ilmiah bidang tertentu pada suatu masa dinyatakan sebagai pemberi landasan untuk praktek selanjutnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu normal memiliki dua ciri esensial:
1.      Pencapaian ilmiah itu cukup baru sehingga mampu menarik para pemraktek ilmu dari berbagai cara lain dalam menjalankan kegiatan ilmiah; maksudnya dihadapkan pada berbagai alternatif cara menjalankan kegiatan ilmiah, sebagian besar pemraktek ilmu cenderung memilih untuk mengacu pada pencapaian itu dalam menjalankan kegiatan ilmiah  mereka.
2.      Pencapaian itu cukup terbuka sehingga masih terdapat berbagai masalah yang memerlukan penyelesaian oleh pemraktek ilmu dengan mengacu pada pencapaian-pencapaian itu.
Ilmu normal bekerja berdasarkan paradigma yang dianut atau yang berlaku. Karena itu, pada dasarnya penelitian normal tidak dimaksudkan untuk pembaharuan besar, melainkan hanya untuk mengartikulasi paradigma itu. Kegiatan ilmiah ilmu normal hanya brtujuan untuk menambah lingkup dan presisi pada bidang-bidang yang terhadapnya paradigma dapat diaplikasikan. Jadi ilmu normal adalah jenis kegiatan ilmiah yang sangat restriktif. Keuntungannya adalah bahwa kegiatan ilmiah yang demikian itu dapat sangat mendalam dan cermat.
Dalam keangka ilmu normal, para ilmuan biasanya bekerja dalam kerangka  seperangkat aturan yang sudah dirumuskan secara jelas berdasarkan paradigma dalam bidang tertentu, sehingga pada dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi terlebih dahulu.karena itu kegiatan ilmiah dalam kerangka ilmu normal adalah seperti  kegiatan “puzzle solving”. Implikasinya adalah bahwa kegagalan menghasilkan suatu solusi terhadap masalah tertentu lebih mencerminkan tingkat kemampuan ilmuan ketimbang sifat dari masalah yang bersangkutan atau metode yang digunakan.
Walaupun ilmu normal itu adalah kegiatan kumulatif (menambah pengetahuan) dalam bidang yang batas-batasnya ditentukan oleh paradigma tertentu, namun dalam perjalanan kegiatannya dapat menimbulkan hasil yang tidak diharapkan. Maksudnya, dalam kegiatan ilmiah itu dapat timbul penyimpangan, yang oleh kuhn disebut anomali. Terbawa oleh sifatnya sendiri, yakni oleh batas-batas yang ditetapkan oleh paradigma, ilmu normal akan mendorong para ilmuan pemrakteknya menyadari adanya anomali, yakni hal baru atau pertanyaan yang tidak ter”cover” atau terliputi oleh kerangka paradigma yang bersangkutan, yang tidak terantisipasi berdasarkan paradigma yang menjadi acuan kegiatan ilmiah. Adanya anomali merupakan prasyarat bagi penemuan baru, yang akhirnya dapat mengakibatkan perubahan paradigma.

C.    Data Anomali
Data anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali dengan kegiatan ilmiah. Dalam hal ini Kuhn menguraikan dua macam kegiatan ilmiah, puzzle solving dan penemuan paradigma baru. Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang bertujuan untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan.
Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa yang tersaing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan adanya anomali. Kemudian riset berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan riset tersebut hanya akan berakhir bila teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Jadi yang jelas, dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru. Berikut adalah contoh data anomaly dalam ilmu pengetahuan:
Perkembangan teori cahaya
Jejak kajian  tentang cahaya secara mendalam bisa dilacak sejak peradaban Yunani kuno. Ilmuwan kunci dalam kajian awal cahaya ialah Euclid yang amat masyhur dengan pendapatnya, manusia dapat melihat karena mata mengirimkan cahaya kepada benda. Pendapat Euclid bertahan cukup lama sampai kemudian muncul Alhazen yang bernama asli Ibnu al-Haitham (965-1038). Pendapat Euclid ini menemukan anomalinya ketika manusia tidak dapat melihat dalam tempat-tempat yang gelap. Al Hazen berhasil membuktikan kekeliruan pendapat Euclid. Menurutnya, yang benar adalah justru sebaliknya. Manusia dapat melihat karena ada cahaya dari benda yang sampai ke mata. 
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa fisikawan tertarik untuk mengetahui cepat rambat cahaya ini. Fisikawan pertama yang dianggap berhasil melakukan pengukuran terhadap cepat rambat cahaya ialah Ole Roemer (1644 -1710) meskipun hasilnya tidak setepat hasil pengukuran sekarang. Menurut pengukuran Roemer pada tahun 1675, cahaya mempunyai laju sebesar 200 ribu km per detik. Fisikawan sebelumnya, Galileo Galilei, hanya menyebutkan secara kualitatif bahwa cahaya mempunyai kecepatan yang luar biasa.
Perkembangan berikutnya tentang kajian cahaya ditengarai dengan terbitnya teori korpuskular cahaya yang diusulkan oleh "begawanân" fisika klasik Isaac Newton (1642-1727). Dalam teori ini, Newton mengganggap cahaya sebagai aliran partikel (butir-butir cahaya) yang menyebabkan timbulnya gangguan pada eter di dalam ruang. Eter merupakan zat hipotetis (artinya masih perlu diuji) yang dipercaya mengisi seluruh ruang jagad raya. Teori korpuskular cahaya dipercaya oleh fisikawan-fisikawan berikutnya sampai penghujung abad ke-18.
Pada awal abad ke-19, tepatnya tahun 1801, Thomas Young (1773-1829) menemukan adanya peristiwa interferensi pada cahaya. Peristiwa  ini tidak bisa dijelaskan dengan teori korpuskular cahaya Newton. Akhirnya paradigma baru digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Peristiwa ini merupakan pertanda bahwa teori gelombang diperlukan untuk menjelaskan hakikat cahaya. Usulan Young diperkuat oleh James Clerk Maxwell (1831-1879) yang menyatakan bahwa cahaya merupakan bagian dari gelombang elektromagnetik. Saat itu, Maxwell masih yakin bahwa gelombang elektromagnetik membutuhkan medium khusus untuk dapat merambat dan ia menamakan medium tersebut sebagai eter bercahaya. 
Sayang sekali, keyakinan Maxwell bahwa gelombang elektromagnetik memerlukan medium eter dalam perambatannya dipatahkan oleh fisikawan Michelson dan Morley melalui sebuah percobaan pada tahun 1887. Hasil percobaan Michelson-Morley menegaskan bahwa eter sesungguhnya tidak ada. Sehingga cahaya (sebagai salah satu gelombang elektromagnetik) tidak  memerlukan medium untuk merambat.
Upaya penyingkapan rahasia cahaya terus berkembang. Pada masa-masa sekitar 1900-an fenomena cahaya megalami krisis lagi ketika para ilmuwan menemukan gejala efek fotolistrik yang tidak bisa dijelaskan dengan paradigma yang dipakai saat itu, yaitu teori gelombang. Pada tahun 1905 Einstein (1879-1955) menunjukkan bahwa efek fotolistrik hanya dapat dijelaskan dengan menganggap bahwa cahaya terdiri dari aliran diskrit (tidak kontinyu) foton energi elektromagnetik. Anomali cahaya dalam efek fotolistrik ternyata bisa dijelaskan ketika paradigma yang digunakan bukan teori gelombang melainkan teori korpusular cahaya lagi.

D.    Tingkat Akurasi Kesimpulan
Scientific knowledge dapat diartikan sebagai kesimpulan-kesimpulan ilmiah (hasil abstraksi) yang telah diuji dan mendapat pengakuan umum. Berdasarkan tingkat akurasi kesimpulannya, scientific knowledge dibedakan dalam lima kategori: fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori.
1.      Fakta
Fakta ilmiah adalah deskripsi akurat tentang apa yang teramati, atau pernyataan objektif yang dapat dikonfirmasikan kebenarannya (empiric) tentang sesuatu yang benar-benar ada atau peristiwa yang benar-benar terjadi.
Contoh:
a.       Adalah fakta bahwa magnet menarik benda-benda tertentu.
b.      Adalah fakta bahwa butiran zat cair air yang jatuh di udara berbentuk bulat.
c.       Adalah fakta bahwa pelangi terdiri atas beberapa warna.
2.      Konsep
Konsep sains adalah rumusan akal atau gagasan umum tentang objek atau kejadian yang didasarkan pada sifat-sifat objek atau kejadian tersebut.
Contoh:
a.       Bahwa magnet dapat menarik benda-benda tertentu adalah fakta, tetapi pada setiap magnet ada tempat atau bagian yang memiliki kekuatan paling tinggi, ini melahirkan konsep kutub magnet.
b.      Semua tumbuhan berbiji memiliki akar, tetapi pola pertumbuhan akarnya tidak sama, ada yang bercabang ada yang tidak. Fakta ini melahirkan konsep akar tunggang dan akar serabut.
3.      Prinsip
Prinsip sains adalah rumusan atau generalisasi hubungan fakta dengan konsep. Prinsip lebih bersifat analitik, bukan sekedar empirik.
Contoh:
a.       Udara yang dipanaskan memuai. Ini adalah contoh prinsip sains yang menghubungkan konsep udara, panas, dan pemuaian.
b.      Air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Ada konsep air, mengalir, dan tinggi dan rendah.
4.      Hukum
Hukum adalah prinsip-prinsip khusus yang diterima secara meluas setelah melalui pengujian berulang.
Contoh:
a.       Energi tak dapat diciptakan atau dimusnahkan melainkan hanya dapat dialihbentukkan.
b.      Benda yang d dalam air akan menerima gaya yang besarnya sama dengan berat air yang dipindahkan oleh benda tadi.

5.      Teori
Teori ilmiah adalah penjelasan umum atau model imaginatif tentang hubungan antara fakta, konsep, dan prinsip-prinsip. Teori ilmiah berguna untuk memudahkan memahami, memprediksi, atau mengendalikan fenomena alam.
Contoh:
a.       Teori Big bang: Alam semesta, galaksi dan bintang serta tatasurya terbentuk melalui eristiwa dentuman besar.
b.      Teori evolusi: Semua spesies makhluk hidup berkembang dari dari leluhur yang sama.
c.       Teori pemanasan global: “Akibat atmosfer dipenuhi oleh gas-gas pemerangkap panas, maka suhu atmosfer bumi mengalami peningkatan.
d.      Teori atom: Atom terdiri atas inti (proton dan neutron) yang dikelilingi oleh electron yang bergerak pada orbit tertentu.
e.       Teori sel: Semua sel berasal dari sel yang sudah ada, semua makhluk hidup terdiri atas sel atau sel-sel.




BAB II
PENELAAHAN KONSEP PEMIKIRAN KHUN


Thomas Samuel Kuhn, seorang fisikawan Harvard, adalah salah satu filsuf ternama dengan bukunya yang berjudul  “The Structure of Scientific Revolutions” (1962). Kuhn memperkenalkan  sebuah istilah baru dalam filsafat ilmu, yaitu “paradigm dan normal science”. Gagasan Kuhn dalam buku tersebut, yang juga coba disaripatikan oleh Malcolm R. Foster melalui artikelnya "Guide to Thomas Kuhn's The Structure of Scientific Revolutions" yang diterbitkan pada tahun 1998, secara sederhana dapat diungkapkan  dalam skema berikut:

Paradigma I ---> Sains normal --->  Data anomali ---> Krisis dan Revolusi ---> Paradigma II

Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, Profesor Thomas Kuhn menggambarkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai revolusi teoritik berkala, memutus masa-masa panjang yang hanya diisi oleh perubahan kualitatif, yang diabdikan untuk mengisi rincian-rinciannya. Dalam masa-masa "normal" semacam itu, ilmu pengetahuan bekerja di dalam satu himpunan teori tertentu yang disebutnya paradigma, yang merupakan asumsi yang tidak dipertanyakan lagi tentang bagaimana adanya dunia ini. Pada awalnya, paradigma yang ada merangsang perkembangan ilmu pengetahuan, memberikan kerangka kerja yang koheren untuk penyelidikan. Tanpa kerangka kerja yang disepakati bersama-sama, para ilmuwan akan selamanya berdebat tentang hal-hal yang mendasar. Ilmu pengetahuan, tidak lebih dari masyarakat, tidak dapat hidup dalam masa-masa gejolak revolusioner yang permanen. Justru untuk alasan ini, revolusi adalah hal yang jarang terjadi, baik dalam masyarakat maupun dalam ilmu pengetahuan. 
Selama beberapa waktu, ilmu pengetahuan dapat melangkah maju di atas jalur yang telah dikenal ini, sambil menumpuk hasil. Tapi, sementara itu, apa yang semula merupakan hipotesis baru yang berani akhirnya diubah menjadi ortodoksi yang kaku. Jika sebuah percobaan menghasilkan sesuatu yang bertentangan dengan teori yang ada, para ilmuwan mungkin menyembunyikannya, karena hasil-hasil itu dianggap subversif terhadap tatanan yang ada. Hanya ketika anomali itu bertumpuk sampai titik di mana mereka tidak lagi dapat diabaikan, ketika itulah landasan baru disiapkan untuk munculnya satu revolusi ilmiah, yang menggulingkan teori yang dominan dan membuka satu masa perkembangan ilmu pengetahuan "normal" yang baru, pada tingkat yang lebih tinggi. 
Walaupun tentu sangat terlalu disederhanakan, gambaran tentang perkembangan ilmu pengetahuan ini, sebagai sebuah generalisasi yang luas, dapat dianggap benar. Dalam bukunya Ludwig Feuerbach, Engels menerangkan sifat dialektik dari perkembangan pikiran manusia, seperti yang ditunjukkan baik dalam sejarah ilmu pengetahuan maupun filsafat:
"Kebenaran, yang merupakan tugas filsafat untuk mengenalinya, di tangan Hegel tidak lagi menjadi satu kumpulan pernyataan dogmatik yang sempurna, yang, setelah ditemukan, tinggal dihafalkan saja. Kebenaran kini terletak dalam proses pengenalan kebenaran itu sendiri, dalam perkembangan panjang sejarah ilmu pengetahuan, yang bergerak dari tingkat pengetahuan rendah ke tinggi tanpa pernah mencapai, melalui penemuan dari apa yang disebut kebenaran mutlak, satu titik di mana ia tidak lagi dapat maju lebih jauh, di mana kita tidak lagi memiliki sesuatupun untuk dikerjakan selain berpangku tangan dan menatap dengan kagum pada kebenaran mutlak yang telah dimilikinya." 
"Baginya, [filsafat dialektik] tidak sesuatupun yang final, mutlak, suci. Ia mengungkap sifat sementara dari segala sesuatu dan di dalam segala sesuatu; tidak ada yang dapat menahannya kecuali proses tanpa henti dari lahir dan mati, peningkatan bersinambung dari rendah ke tinggi. Dan filsafat dialektik itu sendiri bukanlah apa-apa selain satu cerminan dari proses ini, yang terjadi di dalam otak yang berpikir. Ia juga, tentu saja, memiliki sisi konservatif: ia mengakui bahwa berbagai tahap tertentu dari ilmu pengetahuan dan masyarakat dibenarkan bagi masa dan keadaan yang melingkupi mereka; tapi hanya sebegitu saja. Konservatisme dari cara pandang ini adalah relatif; sifat revolusionernya adalah mutlak - satu-satunya kemutlakan yang diakui oleh filsafat dialektik.

Shifting Paradigms adalah istilah yang cocok untuk menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai kefilsafatan. Shifting Paradigms merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini pada akhirnya menjadi kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban manusia ke arah suatu "kemajuan".
Kalau dalam wacana metafisika, perubahan paradigma yang ada cukup merepotkan kita untuk memahaminya, maka dalam wilayah epistemologi akan lebih ruwet lagi, karena epistemologi selain merupakan bagian dari filsafat sistematis, memerlukan riset, juga menjangkau permasalahan yang membentang luas seluas jangkauan metafisika itu sendiri.
Sebagaimana metafisika, epistemologipun bisa dipetakan ke dalam epistemologi positivistik, epistemologi rasionalistik, epistemologi phenomenologik dan lain sebagainya yang mempunyai struktur dan logika masing-masing. Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (epistemologi), paradigma epistemologi positivistik telah merajai bidang ini, tetapi sekitar dua atau tiga dasawarsa terakhir ini, terlihat perkembangan baru dalam filsafat ilmu pengetahuan. Perkembangan ini sebenarnya merupakan upaya pendobrakan atas filsafat ilmu pengetahuan positivistik yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, Norwood Russel Hanson, Robert Palter, Steven Toulmin serta Imre Lakatos. Kuhn juga mengkritik doktrin-doktrin filsafat tertentu seperti Baconian, pandangan tentang verifikasi, falsifikasi, probabilistik, penerimaan dan penolakan teori-teori ilmiah.
Apa yang disebut dengan filsafat ilmu baru ini dimulai dengan terbitnya karya Kuhn The Structure of Scientific Revolutions. Tulisan ini mempunyai arti penting dalam perkembangan filsafat ilmu, tidak saja karena keberhasilannya membentuk dan mengembangkan wacana intelektual baru dalam filsafat ilmu, tetapi juga kontribusi konseptual yang memberi insight dalam berbagai bidang disiplin intelektual dengan derajat sosialisasi dan popularitas yang jarang dapat ditandingi. Banyak ilmuwan, kata Barbour, merasa at home dengan karya tersebut, karena ia seringkali memberikan contoh konkrit dari sejarah sains dan tampaknya mendeskripsikan sains sebagaimana mereka mengetahuinya, dan mengundang sikap kritis terhadap disiplin ilmu yang ditekuni.
Dalam hal apa dan bagaimana karya Kuhn memberi pencerahan intelektual, secara epistemologis menjadi penting untuk dijawab. Terlepas dari keterkaitannya dengan sains-sains natural dan sains-sains behavioral, wilayah disiplin keilmuan tersebut yang dikembangkan gagasannya oleh Kuhn. Ciri khas yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan model yang terdahulu adalah perhatian besar terhadap sejarah ilmu, dan peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Bagi Kuhn sejarah ilmu merupakan starting point dan kaca mata utamanya dalam menyoroti permasalahan-permasalahan yang fundamental dalam epistemologi, yang selama ini masih menjadi teka-teki. Dengan kejernihan pikiran, ia menegaskan bahwa sains pada dasarnya lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya.Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin mencari paralelisme teori Kuhn pada ilmu-ilmu sosial, yaitu pendidikan.



BAB III
KESIMPULAN


Watak atau  ciri-ciri ilmu pengetahuan adalah bersifat sistematis, dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, dan objektif. Pengetahuan adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.
Kuhn membedakan adanya dua tahap atau periode dalam setiap ilmu, yakni periode pra-paradigmatik dan periode ilmu normal (normal science).pada periode pra-paradigmatik, pengumpulan fakta atau kegiatan penelitian dalam bidang tertentu berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan tanpa mengacu pada perencanaan atau kerangka teoritikal yang diterima umum. Pada tahap pra-paradigmatik ini sejumlah aliran pikiran yang saling bersaing, tetapi tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara umum. Namun perlahan-lahan, salah satu sistem teoritikal mulai memperoleh penerimaan secara umum, dan dengan itu paradigma pertama sebuah disiplin terbentuk. Dengan terbentuknya paradigma itu, kegiatan ilmiah dalam sebuah disiplin memasuki periode ilmu normal atau sains normal (normal science).



DAFTAR  PUSTAKA
                          
Chandra, Agus. 2010. Metode Ilmiah. Tersedia online: [http://www.aguschandra.com/2010/10/metode-ilmiah/]

Childe, Gordon, What Happened in History, Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975

Fathurrahman, ayief. 2011. Dinamika Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dari Mitos ke Logos. Tersedia online:  [http://ayieffathurrahman.wordpress.com/2011/01/12/perjalanan-t0ngkat-estafet-ilmu-pengetahuan-dari-mitos-ke-logos/]

Kuhn, Thomas S., 2002, The Structure of Scienti c Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Remaja Rosdakarya, Bandung.
  
Khun, S. Thomas. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. The University of Chicago Press:London.

Klein-Franke, Felix, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Bandung: Mizan, 2003

Najib, Aan. 2011. Paradigm dan Revolusi Sains. Tersedia online: [http://rachmadresmi.blogspot.com/2011/02/catatan-singkat-tentang-pemikiran-kuhn.html]

Resmiyanto, Rachmat. 2011. Catatan Singkat Pemikiran Khun. Tersedia online: [http://rachmadresmi.blogspot.com/2011/02/catatan-singkat-tentang-pemikiran-kuhn.html]

Russel, B., History of  Western Philosophy, London : George Allen & Unwin Ltd, 1957

Schumpeter, Joseph A., A History of Economic Analysis, New york : Oxford University Press, 1954

Syamsir, Elvira. 2008. Sains Normal dan Revolusi Sains (Khun). Tersedia online: [http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786497-sains-normal-dan-revolusi-sains/]

Syekhu. 2009. Thomas Khun. Tersedia online: [http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/22/thomas-khun/]

The Structure of Scientific Revolutions, Wikipedia onlina, www.wikipedia.com, 10 Desember 2007

William, M, Science and Social Science : An Introduction. London.: Routledge, 2000

Winarto, Joko. 2011. Ontologi. Tersedia online: [http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/22/ontologi/]
  
Zarkasyi, Hamid Fahmy, “Akar Kebudayaan Barat”, dikutip darihttp://donnyreza.net/lib/INSISTS/Akar_Kebudayaan_Barat.pdf, di akses tanggal 7 Januari 2011

Ziman, J. The Force of Knowledge : the scientific dimension of society.Cambridge: Cambridge University Press, 1986.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar