Mauren Gitta MS
1104398
maurengitta@yahoo.com
BAB I
LAPORAN BUKU
A.
lmu
Pengetahuan Ilmiah
1.
Metode
Ilmiah
Metode ilmiah menurut Chandra (2010) adalah suatu
pengerjaan terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis.
Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh tolerelasi yang sistematis dari
fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang
fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Karena itu,
penelitian dan metode ilmiah mempunyai hubungan yang dekat sekali. Dengan
adanya metode ilmiah, pertanyaan-pertanyaan dalam mencari dadil umum akan mudah
terjawab. Menurut Almadk (1939) metode ilmiah adalah cara menerapkan
prinsip-prinsip logis terhadap penemuan pengesahan dan penjelasan kebenaran,
dan menurut Ostle (1975) metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk
memperoleh suatu interelasi.
2.
Karakteristik
Sains (Ilmu Pengetahuan)
Randall dan Buchler dalam Sudrajat
(2008) mengemukakan beberapa ciri umum ilmu, yaitu : hasil ilmu bersifat
akumulatif dan merupakan milik bersama, hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak
dan bisa terjadi kekeliruan, dan obyektif tidak bergantung pada pemahaman
secara pribadi. Pendapat senada diberikan
oleh Ralph Ross dan Enerst Van den Haag bahwa ilmu memiliki sifat-sifat
rasional, empiris, umum, dan akumulatif (Uyoh Sadulloh,1994:44). Menurut Lorens
Bagus (1996:307-308) tentang pengertian ilmu dapat didentifikasi bahwa salah
satu sifat ilmu adalah koheren yakni tidak kontradiksi dengan kenyataan.
Sedangkan berkenaan dengan metode pengembangan ilmu, ilmu memiliki ciri-ciri
dan sifat-sifat yang reliable, valid, dan akurat. Artinya, usaha untuk
memperoleh dan mengembangkan ilmu dilakukan melalui pengukuran dengan
menggunakan alat ukur yang memiliki keterandalan dan keabsahan yang tinggi,
serta penarikan kesimpulan yang memiliki akurasi dengan tingkat siginifikansi
yang tinggi pula, serta dapat memberikan daya prediksi atas
kemungkinan-kemungkinan suatu hal. Sementara itu, Ismaun (2001) menjelaskan
sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut :
a.
Obyektif;
ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak berdasarkan
pada emosional subyektif,
b.
Koheren; pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi
dengan kenyataan;
c.
Reliable; produk dan cara-cara memperoleh ilmu
dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi,
d.
Valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu
dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi,
baik secara internal maupun eksternal,
e.
Memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu
dapat berlaku umum,
f.
Akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan
(akurasi) yang tinggi, dan
g.
Dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan
daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.
B.
Ilmu
Pengetahuan Normal
Thomas Kuhn dalan
Syekhu (2009) membedakan adanya dua
tahap atau periode dalam setiap ilmu, yakni periode pra-paradigmatik dan
periode ilmu normal (normal science). Pada
periode pra-paradigmatik, pengumpulan fakta atau kegiatan penelitian dalam
bidang tertentu berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan tanpa
mengacu pada perencanaan atau kerangka teoritikal yang diterima umum. Pada
tahap pra-paradigmatik ini sejumlah aliran pikiran yang saling bersaing, tetapi
tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara umum. Namun
perlahan-lahan, salah satu sistem teoritikal mulai memperoleh penerimaan secara
umum, dan dengan itu paradigma pertama sebuah disiplin terbentuk. Dengan
terbentuknya paradigma itu, kegiatan ilmiah dalam sebuah disiplin memasuki
periode ilmu normal atau sains normal (normal
science).
Menurut Kuhn “ilmu normal” adalah kegiatan penelitian
yang secara teguh berdasarkan satu atau lebih pencapaian ilmiah (scientific
achievements) di masa lalu, yakni pencapaian-pencapaian yang oleh komunitas
atau masyarakat ilmiah bidang tertentu pada suatu masa dinyatakan sebagai
pemberi landasan untuk praktek selanjutnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa
ilmu normal memiliki dua ciri esensial:
1. Pencapaian
ilmiah itu cukup baru sehingga mampu menarik para pemraktek ilmu dari berbagai
cara lain dalam menjalankan kegiatan ilmiah; maksudnya dihadapkan pada berbagai
alternatif cara menjalankan kegiatan ilmiah, sebagian besar pemraktek ilmu
cenderung memilih untuk mengacu pada pencapaian itu dalam menjalankan kegiatan
ilmiah mereka.
2. Pencapaian
itu cukup terbuka sehingga masih terdapat berbagai masalah yang memerlukan
penyelesaian oleh pemraktek ilmu dengan mengacu pada pencapaian-pencapaian itu.
Ilmu normal bekerja
berdasarkan paradigma yang dianut atau yang berlaku. Karena itu, pada dasarnya
penelitian normal tidak dimaksudkan untuk pembaharuan besar, melainkan hanya
untuk mengartikulasi paradigma itu. Kegiatan ilmiah ilmu normal hanya brtujuan
untuk menambah lingkup dan presisi pada bidang-bidang yang terhadapnya
paradigma dapat diaplikasikan. Jadi ilmu normal adalah jenis kegiatan ilmiah
yang sangat restriktif. Keuntungannya adalah bahwa kegiatan ilmiah yang
demikian itu dapat sangat mendalam dan cermat.
Dalam keangka ilmu
normal, para ilmuan biasanya bekerja dalam kerangka seperangkat aturan
yang sudah dirumuskan secara jelas berdasarkan paradigma dalam bidang tertentu,
sehingga pada dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi terlebih
dahulu.karena itu kegiatan ilmiah dalam kerangka ilmu normal adalah
seperti kegiatan “puzzle solving”. Implikasinya adalah bahwa kegagalan
menghasilkan suatu solusi terhadap masalah tertentu lebih mencerminkan tingkat
kemampuan ilmuan ketimbang sifat dari masalah yang bersangkutan atau metode
yang digunakan.
Walaupun ilmu normal
itu adalah kegiatan kumulatif (menambah pengetahuan) dalam bidang yang
batas-batasnya ditentukan oleh paradigma tertentu, namun dalam perjalanan
kegiatannya dapat menimbulkan hasil yang tidak diharapkan. Maksudnya, dalam
kegiatan ilmiah itu dapat timbul penyimpangan, yang oleh kuhn disebut anomali.
Terbawa oleh sifatnya sendiri, yakni oleh batas-batas yang ditetapkan oleh
paradigma, ilmu normal akan mendorong para ilmuan pemrakteknya menyadari adanya
anomali, yakni hal baru atau pertanyaan yang tidak ter”cover” atau terliputi
oleh kerangka paradigma yang bersangkutan, yang tidak terantisipasi berdasarkan
paradigma yang menjadi acuan kegiatan ilmiah. Adanya anomali merupakan
prasyarat bagi penemuan baru, yang akhirnya dapat mengakibatkan perubahan
paradigma.
C.
Data
Anomali
Data anomali berperan
besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali dengan kegiatan
ilmiah. Dalam hal ini Kuhn menguraikan dua macam kegiatan ilmiah, puzzle
solving dan penemuan paradigma baru. Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat
percobaan dan mengadakan observasi yang bertujuan untuk memecahkan teka-teki,
bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk
memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu
paradigma baru harus diciptakan.
Dengan demikian
kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika
penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu
pengetahuan. Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa yang tersaing,
melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara
teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan adanya anomali. Kemudian riset
berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali.
Dan riset tersebut hanya akan berakhir bila teori atau paradigma itu telah
disesuaikan sehingga yang menyimpang menjadi sesuai dengan yang diharapkan.
Jadi yang jelas, dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan
teori yang baru. Berikut adalah contoh data anomaly dalam ilmu pengetahuan:
Perkembangan teori cahaya
Jejak kajian tentang
cahaya secara mendalam bisa dilacak sejak peradaban Yunani kuno. Ilmuwan kunci
dalam kajian awal cahaya ialah Euclid yang amat masyhur dengan
pendapatnya, manusia dapat melihat karena mata mengirimkan cahaya kepada
benda. Pendapat Euclid bertahan cukup lama sampai kemudian muncul Alhazen yang
bernama asli Ibnu al-Haitham (965-1038). Pendapat Euclid ini menemukan
anomalinya ketika manusia tidak dapat melihat dalam tempat-tempat yang gelap.
Al Hazen berhasil membuktikan kekeliruan pendapat Euclid. Menurutnya, yang
benar adalah justru sebaliknya. Manusia dapat melihat karena ada cahaya dari
benda yang sampai ke mata.
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa fisikawan
tertarik untuk mengetahui cepat rambat cahaya ini. Fisikawan pertama yang
dianggap berhasil melakukan pengukuran terhadap cepat rambat cahaya ialah Ole
Roemer (1644 -1710) meskipun hasilnya tidak setepat hasil pengukuran sekarang.
Menurut pengukuran Roemer pada tahun 1675, cahaya mempunyai laju sebesar 200
ribu km per detik. Fisikawan sebelumnya, Galileo Galilei, hanya menyebutkan
secara kualitatif bahwa cahaya mempunyai kecepatan yang luar biasa.
Perkembangan berikutnya tentang kajian cahaya
ditengarai dengan terbitnya teori korpuskular cahaya yang diusulkan oleh
"begawanân" fisika klasik Isaac Newton (1642-1727). Dalam teori ini,
Newton mengganggap cahaya sebagai aliran partikel (butir-butir cahaya) yang
menyebabkan timbulnya gangguan pada eter di dalam ruang. Eter merupakan zat
hipotetis (artinya masih perlu diuji) yang dipercaya mengisi seluruh ruang
jagad raya. Teori korpuskular cahaya dipercaya oleh fisikawan-fisikawan
berikutnya sampai penghujung abad ke-18.
Pada awal abad ke-19, tepatnya tahun 1801, Thomas
Young (1773-1829) menemukan adanya peristiwa interferensi pada cahaya.
Peristiwa ini tidak bisa dijelaskan dengan teori korpuskular cahaya
Newton. Akhirnya paradigma baru digunakan untuk menjelaskan fenomena ini.
Peristiwa ini merupakan pertanda bahwa teori gelombang diperlukan untuk
menjelaskan hakikat cahaya. Usulan Young diperkuat oleh James Clerk Maxwell
(1831-1879) yang menyatakan bahwa cahaya merupakan bagian dari gelombang
elektromagnetik. Saat itu, Maxwell masih yakin bahwa gelombang elektromagnetik
membutuhkan medium khusus untuk dapat merambat dan ia menamakan medium tersebut
sebagai eter bercahaya.
Sayang sekali, keyakinan Maxwell bahwa gelombang
elektromagnetik memerlukan medium eter dalam perambatannya dipatahkan oleh
fisikawan Michelson dan Morley melalui sebuah percobaan pada tahun 1887. Hasil
percobaan Michelson-Morley menegaskan bahwa eter sesungguhnya tidak ada.
Sehingga cahaya (sebagai salah satu gelombang elektromagnetik) tidak
memerlukan medium untuk merambat.
Upaya penyingkapan rahasia cahaya terus berkembang.
Pada masa-masa sekitar 1900-an fenomena cahaya megalami krisis lagi ketika para
ilmuwan menemukan gejala efek fotolistrik yang tidak bisa dijelaskan dengan
paradigma yang dipakai saat itu, yaitu teori gelombang. Pada tahun 1905
Einstein (1879-1955) menunjukkan bahwa efek fotolistrik hanya dapat dijelaskan dengan
menganggap bahwa cahaya terdiri dari aliran diskrit (tidak kontinyu) foton
energi elektromagnetik. Anomali cahaya dalam efek fotolistrik ternyata bisa
dijelaskan ketika paradigma yang digunakan bukan teori gelombang melainkan
teori korpusular cahaya lagi.
D.
Tingkat
Akurasi Kesimpulan
Scientific
knowledge dapat diartikan sebagai kesimpulan-kesimpulan
ilmiah (hasil abstraksi) yang telah diuji dan mendapat pengakuan umum.
Berdasarkan tingkat akurasi kesimpulannya, scientific
knowledge dibedakan dalam lima kategori: fakta, konsep, prinsip, hukum, dan
teori.
1.
Fakta
Fakta ilmiah
adalah deskripsi akurat tentang apa yang teramati, atau pernyataan objektif
yang dapat dikonfirmasikan kebenarannya (empiric) tentang sesuatu yang
benar-benar ada atau peristiwa yang benar-benar terjadi.
Contoh:
a.
Adalah fakta bahwa magnet menarik
benda-benda tertentu.
b.
Adalah fakta bahwa butiran zat cair air
yang jatuh di udara berbentuk bulat.
c.
Adalah fakta bahwa pelangi terdiri atas
beberapa warna.
2. Konsep
Konsep sains adalah rumusan akal atau gagasan umum tentang objek atau kejadian yang didasarkan pada sifat-sifat objek atau kejadian tersebut.
Konsep sains adalah rumusan akal atau gagasan umum tentang objek atau kejadian yang didasarkan pada sifat-sifat objek atau kejadian tersebut.
Contoh:
a.
Bahwa magnet dapat menarik benda-benda
tertentu adalah fakta, tetapi pada setiap magnet ada tempat atau bagian yang memiliki
kekuatan paling tinggi, ini melahirkan konsep kutub magnet.
b.
Semua tumbuhan berbiji memiliki akar,
tetapi pola pertumbuhan akarnya tidak sama, ada yang bercabang ada yang tidak.
Fakta ini melahirkan konsep akar tunggang dan akar serabut.
3.
Prinsip
Prinsip sains adalah rumusan atau generalisasi
hubungan fakta dengan konsep. Prinsip lebih bersifat analitik, bukan sekedar
empirik.
Contoh:
a.
Udara yang dipanaskan memuai. Ini adalah
contoh prinsip sains yang menghubungkan konsep udara, panas, dan pemuaian.
b.
Air selalu mengalir dari tempat yang
tinggi ke tempat yang rendah. Ada konsep air, mengalir, dan tinggi dan rendah.
4.
Hukum
Hukum adalah prinsip-prinsip khusus yang diterima
secara meluas setelah melalui pengujian berulang.
Contoh:
a.
Energi tak dapat diciptakan atau
dimusnahkan melainkan hanya dapat dialihbentukkan.
b.
Benda yang d dalam air akan menerima
gaya yang besarnya sama dengan berat air yang dipindahkan oleh benda tadi.
5.
Teori
Teori ilmiah
adalah penjelasan umum atau model imaginatif tentang hubungan antara fakta,
konsep, dan prinsip-prinsip. Teori ilmiah berguna untuk memudahkan memahami,
memprediksi, atau mengendalikan fenomena alam.
Contoh:
a.
Teori Big bang: Alam semesta, galaksi
dan bintang serta tatasurya terbentuk melalui eristiwa dentuman besar.
b.
Teori evolusi: Semua spesies makhluk
hidup berkembang dari dari leluhur yang sama.
c.
Teori pemanasan global: “Akibat atmosfer
dipenuhi oleh gas-gas pemerangkap panas, maka suhu atmosfer bumi mengalami
peningkatan.
d.
Teori atom: Atom terdiri atas inti
(proton dan neutron) yang dikelilingi oleh electron yang bergerak pada orbit
tertentu.
e.
Teori sel: Semua sel berasal dari sel
yang sudah ada, semua makhluk hidup terdiri atas sel atau sel-sel.
BAB II
PENELAAHAN
KONSEP PEMIKIRAN KHUN
Thomas Samuel Kuhn,
seorang fisikawan Harvard, adalah salah satu filsuf ternama dengan bukunya yang
berjudul “The Structure of
Scientific Revolutions” (1962). Kuhn memperkenalkan sebuah istilah baru dalam filsafat ilmu, yaitu
“paradigm dan normal science”. Gagasan Kuhn dalam buku tersebut, yang juga coba disaripatikan
oleh Malcolm R. Foster melalui artikelnya "Guide to Thomas Kuhn's The Structure of Scientific Revolutions"
yang diterbitkan pada tahun 1998, secara sederhana dapat diungkapkan
dalam skema berikut:
Paradigma I --->
Sains normal ---> Data anomali ---> Krisis dan Revolusi --->
Paradigma II
Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution,
Profesor Thomas Kuhn menggambarkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai revolusi
teoritik berkala, memutus masa-masa panjang yang hanya diisi oleh perubahan
kualitatif, yang diabdikan untuk mengisi rincian-rinciannya. Dalam masa-masa
"normal" semacam itu, ilmu pengetahuan bekerja di dalam satu himpunan
teori tertentu yang disebutnya paradigma, yang merupakan asumsi yang tidak
dipertanyakan lagi tentang bagaimana adanya dunia ini. Pada awalnya, paradigma
yang ada merangsang perkembangan ilmu pengetahuan, memberikan kerangka kerja
yang koheren untuk penyelidikan. Tanpa kerangka kerja yang disepakati bersama-sama,
para ilmuwan akan selamanya berdebat tentang hal-hal yang mendasar. Ilmu
pengetahuan, tidak lebih dari masyarakat, tidak dapat hidup dalam masa-masa
gejolak revolusioner yang permanen. Justru untuk alasan ini, revolusi adalah
hal yang jarang terjadi, baik dalam masyarakat maupun dalam ilmu
pengetahuan.
Selama beberapa waktu,
ilmu pengetahuan dapat melangkah maju di atas jalur yang telah dikenal ini,
sambil menumpuk hasil. Tapi, sementara itu, apa yang semula merupakan hipotesis
baru yang berani akhirnya diubah menjadi ortodoksi yang kaku. Jika sebuah
percobaan menghasilkan sesuatu yang bertentangan dengan teori yang ada, para
ilmuwan mungkin menyembunyikannya, karena hasil-hasil itu dianggap subversif
terhadap tatanan yang ada. Hanya ketika anomali itu bertumpuk sampai titik di
mana mereka tidak lagi dapat diabaikan, ketika itulah landasan baru disiapkan
untuk munculnya satu revolusi ilmiah, yang menggulingkan teori yang dominan dan
membuka satu masa perkembangan ilmu pengetahuan "normal" yang baru, pada
tingkat yang lebih tinggi.
Walaupun tentu sangat
terlalu disederhanakan, gambaran tentang perkembangan ilmu pengetahuan ini,
sebagai sebuah generalisasi yang luas, dapat dianggap benar. Dalam bukunya
Ludwig Feuerbach, Engels menerangkan sifat dialektik dari perkembangan pikiran
manusia, seperti yang ditunjukkan baik dalam sejarah ilmu pengetahuan maupun
filsafat:
"Kebenaran,
yang merupakan tugas filsafat untuk mengenalinya, di tangan Hegel tidak lagi
menjadi satu kumpulan pernyataan dogmatik yang sempurna, yang, setelah
ditemukan, tinggal dihafalkan saja. Kebenaran kini terletak dalam proses
pengenalan kebenaran itu sendiri, dalam perkembangan panjang sejarah ilmu
pengetahuan, yang bergerak dari tingkat pengetahuan rendah ke tinggi tanpa
pernah mencapai, melalui penemuan dari apa yang disebut kebenaran mutlak, satu
titik di mana ia tidak lagi dapat maju lebih jauh, di mana kita tidak lagi
memiliki sesuatupun untuk dikerjakan selain berpangku tangan dan menatap dengan
kagum pada kebenaran mutlak yang telah dimilikinya."
"Baginya,
[filsafat dialektik] tidak sesuatupun yang final, mutlak, suci. Ia mengungkap
sifat sementara dari segala sesuatu dan di dalam segala sesuatu; tidak ada yang
dapat menahannya kecuali proses tanpa henti dari lahir dan mati, peningkatan
bersinambung dari rendah ke tinggi. Dan filsafat dialektik itu sendiri bukanlah
apa-apa selain satu cerminan dari proses ini, yang terjadi di dalam otak yang
berpikir. Ia juga, tentu saja, memiliki sisi konservatif: ia mengakui bahwa
berbagai tahap tertentu dari ilmu pengetahuan dan masyarakat dibenarkan bagi
masa dan keadaan yang melingkupi mereka; tapi hanya sebegitu saja.
Konservatisme dari cara pandang ini adalah relatif; sifat revolusionernya
adalah mutlak - satu-satunya kemutlakan yang diakui oleh filsafat dialektik.
Shifting
Paradigms adalah istilah yang cocok untuk menggambarkan terjadinya dimensi
kreatif pikiran manusia dalam bingkai kefilsafatan. Shifting
Paradigms merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya letupan ide-ide
yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik pada orang yang
sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini pada akhirnya menjadi
kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban manusia ke
arah suatu "kemajuan".
Kalau dalam wacana
metafisika, perubahan paradigma yang ada cukup merepotkan kita untuk
memahaminya, maka dalam wilayah epistemologi akan lebih ruwet lagi, karena
epistemologi selain merupakan bagian dari filsafat sistematis, memerlukan
riset, juga menjangkau permasalahan yang membentang luas seluas jangkauan
metafisika itu sendiri.
Sebagaimana metafisika,
epistemologipun bisa dipetakan ke dalam epistemologi positivistik, epistemologi
rasionalistik, epistemologi phenomenologik dan lain sebagainya yang mempunyai
struktur dan logika masing-masing. Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan
(epistemologi), paradigma epistemologi positivistik telah merajai bidang ini,
tetapi sekitar dua atau tiga dasawarsa terakhir ini, terlihat perkembangan baru
dalam filsafat ilmu pengetahuan. Perkembangan ini sebenarnya merupakan upaya
pendobrakan atas filsafat ilmu pengetahuan positivistik yang dipelopori oleh
tokoh-tokoh seperti Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, Norwood Russel Hanson,
Robert Palter, Steven Toulmin serta Imre Lakatos. Kuhn juga mengkritik
doktrin-doktrin filsafat tertentu seperti Baconian, pandangan tentang
verifikasi, falsifikasi, probabilistik, penerimaan dan penolakan teori-teori
ilmiah.
Apa yang disebut dengan
filsafat ilmu baru ini dimulai dengan terbitnya karya Kuhn The Structure
of Scientific Revolutions. Tulisan ini mempunyai arti penting dalam
perkembangan filsafat ilmu, tidak saja karena keberhasilannya membentuk dan
mengembangkan wacana intelektual baru dalam filsafat ilmu, tetapi juga
kontribusi konseptual yang memberi insight dalam berbagai bidang
disiplin intelektual dengan derajat sosialisasi dan popularitas yang jarang
dapat ditandingi. Banyak ilmuwan, kata Barbour, merasa at home dengan
karya tersebut, karena ia seringkali memberikan contoh konkrit dari sejarah
sains dan tampaknya mendeskripsikan sains sebagaimana mereka mengetahuinya, dan
mengundang sikap kritis terhadap disiplin ilmu yang ditekuni.
Dalam hal apa dan
bagaimana karya Kuhn memberi pencerahan intelektual, secara epistemologis
menjadi penting untuk dijawab. Terlepas dari keterkaitannya dengan sains-sains
natural dan sains-sains behavioral, wilayah disiplin keilmuan tersebut yang
dikembangkan gagasannya oleh Kuhn. Ciri khas yang membedakan model filsafat
ilmu baru ini dengan model yang terdahulu adalah perhatian besar terhadap
sejarah ilmu, dan peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta
mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya
terjadi. Bagi Kuhn sejarah ilmu merupakan starting point dan kaca
mata utamanya dalam menyoroti permasalahan-permasalahan yang fundamental dalam
epistemologi, yang selama ini masih menjadi teka-teki. Dengan kejernihan
pikiran, ia menegaskan bahwa sains pada dasarnya lebih dicirikan oleh paradigma
dan revolusi yang menyertainya.Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin
mencari paralelisme teori Kuhn pada ilmu-ilmu sosial, yaitu pendidikan.
BAB III
KESIMPULAN
Watak atau ciri-ciri ilmu pengetahuan adalah bersifat
sistematis, dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, dan objektif. Pengetahuan
adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat
bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian
tidak bersifat sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.
Kuhn membedakan adanya
dua tahap atau periode dalam setiap ilmu, yakni periode pra-paradigmatik dan
periode ilmu normal (normal science).pada
periode pra-paradigmatik, pengumpulan fakta atau kegiatan penelitian dalam
bidang tertentu berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikatakan tanpa
mengacu pada perencanaan atau kerangka teoritikal yang diterima umum. Pada
tahap pra-paradigmatik ini sejumlah aliran pikiran yang saling bersaing, tetapi
tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara umum. Namun
perlahan-lahan, salah satu sistem teoritikal mulai memperoleh penerimaan secara
umum, dan dengan itu paradigma pertama sebuah disiplin terbentuk. Dengan
terbentuknya paradigma itu, kegiatan ilmiah dalam sebuah disiplin memasuki
periode ilmu normal atau sains normal (normal
science).
DAFTAR PUSTAKA
Chandra,
Agus. 2010. Metode Ilmiah. Tersedia online: [http://www.aguschandra.com/2010/10/metode-ilmiah/]
Childe,
Gordon, What Happened in History, Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975
Fathurrahman,
ayief. 2011. Dinamika Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dari Mitos ke Logos.
Tersedia online: [http://ayieffathurrahman.wordpress.com/2011/01/12/perjalanan-t0ngkat-estafet-ilmu-pengetahuan-dari-mitos-ke-logos/]
Kuhn,
Thomas S., 2002, The Structure of Scienti c Revolutions: Peran Paradigma
dalam Revolusi Sains, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Khun,
S. Thomas. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. The University of
Chicago Press:London.
Klein-Franke,
Felix, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed
Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Bandung: Mizan, 2003
Najib,
Aan. 2011. Paradigm dan Revolusi Sains. Tersedia online:
[http://rachmadresmi.blogspot.com/2011/02/catatan-singkat-tentang-pemikiran-kuhn.html]
Resmiyanto,
Rachmat. 2011. Catatan Singkat Pemikiran Khun. Tersedia online:
[http://rachmadresmi.blogspot.com/2011/02/catatan-singkat-tentang-pemikiran-kuhn.html]
Russel,
B., History of Western Philosophy, London : George Allen &
Unwin Ltd, 1957
Schumpeter,
Joseph A., A History of Economic Analysis, New york : Oxford
University Press, 1954
Syamsir,
Elvira. 2008. Sains Normal dan Revolusi Sains (Khun). Tersedia online:
[http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786497-sains-normal-dan-revolusi-sains/]
Syekhu.
2009. Thomas Khun. Tersedia online:
[http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/22/thomas-khun/]
The
Structure of Scientific Revolutions, Wikipedia onlina, www.wikipedia.com, 10
Desember 2007
William,
M, Science and Social Science : An Introduction. London.: Routledge,
2000
Winarto,
Joko. 2011. Ontologi. Tersedia online:
[http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/22/ontologi/]
Zarkasyi,
Hamid Fahmy, “Akar Kebudayaan Barat”, dikutip darihttp://donnyreza.net/lib/INSISTS/Akar_Kebudayaan_Barat.pdf, di akses
tanggal 7 Januari 2011
Ziman,
J. The Force of Knowledge : the scientific dimension of
society.Cambridge: Cambridge University Press, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar