Senin, 26 Maret 2012

LEADERSHIP IN VOCATIONAL SETTING


 oleh: Mauren Gitta Miranti
1104398

A.    LATAR BELAKANG PENULISAN
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup berkelompok, bersama-sama serta saling berhubungan satu sama lain dengan demikian maka perlu adanya kepemimpinan. Seperti didunia bisnis dan didunia lain pendidikan. Pemerintahan negara adalah seorang pemimpin sangat menentukan dari tercapainya kesuksesan dan efisiensi kerja. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu membawa lembaga / organisasi kepada sasaran dalam jangka waktu yang ditentukan.
Di zaman modern sekarang ini, seorang pemimpin sangat diperlukan, tetapi pemimpin juga lahir bukan karena keturunan dari seorang bangsawan atau bakat yang dibawanya sejak lahir. Tetapi perlu adanya pendidikan dan pengalaman sebagai bekal. Para ahli kepemimpinan telah memberikan berbagai defisini mengenai kepemimpinan, serta menghasilkan berbagai konsep dan teori kepemimpinan.


B.     MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan penulisan chapter repot yang berjudul Leadership in Administration adalah sebagai berikut:
1.      Untuk memahami bahwa tidak semua seorang administrator adalah seorang pemimpin, namun seorang pemimpin harus memiliki sifat dan dapat menjadi seorang administrator.
2.      Untuk memahami dan mengaplikasikan perilaku seorang pemimpin dalam situasi dan kondisi tertentu.
3.      Untuk menciptakan lingkungan kerja dimana angora atau bawahannya dapat melatih jiwa kepemimpinanya.
4.      Untuk memahami perlunya kepemimpinan yang dinamis dalam pendidikan kejuruan.
5.      Untuk memahami bagaimana membawa perubahan yang diperlukan untuk meningkatkan pendidikan kejuruan.

C.    PEMBAHSAN
1.      PERBEDAAN SEORANG PEMIMPIN  DAN  ADMINISTRATOR
Kreiner menyatakan bahwa leadership adalah proses mempengaruhi orang lain yang mana seorang pemimpin mengajak anak buahnya secara sekarela berpartisipasi guna mencapai tujuan organisasi. Dalam hubungan dengan kepemimpinan dalam institusi pemerintah yang mengurusi pendidikan kejuruan, baik di tingkat pusat maupun daerah, maka tugas pokoknya lebih banyak ke pembuatan kebijakan, koordinasi tingkat tinggi dalam implementasi kebijakan, monitoring dan evaluasi antar instansi dan lembaga pendidikan, serta membangun hubungan baik dengan lembaga legislatif dan dunia industri. Pimpinan pada level ini sebaiknya telah memiliki pengalaman kerja langsung di industri ataupun lembaga pendidikan kejuruan sehingga memiliki sense yang baik dari segi operasional dalam bidang pendidikan kejuruan. Untuk kepemimpinan tingkat lembaga pendidikan kejuruan, maka yang diperlukan lebih kearah kemampuan operasional penyelenggaraan proses pendidikan, koordinasi internal dan eksternal, serta monitoring dan evaluasi internal.
Dalam arti luas administrasi diartikan sebagai proses meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sumber daya organisasi. Dalam arti sempit, administrasi disebut juga sebagai administrasi sekolah atau ketatausahaan sekolah. Petugasnya disebut sebagai tenaga administrasi sekolah. Administrasi sekolah meliputi 12 hal, yaitu:
a.       Administrasi persuratan dan kearsipan (kesekretariatan),
b.      Administrasi pendidik dan tenaga kependidikan,
c.       Administrasi keuangan (termasuk RAPBS dan perpajakan) dan standarnya,
d.      Administrasi isi dan standarnya,
e.       Administrasi proses dan standarnya,
f.       Administrasi kesiswaan,
g.      Standar kompetensi lulusan,
h.      Administrasi sarana dan prasarana  dan standarnya,
i.        Administrasi kehumasan dan kerja sama,
j.        Administrasi standar pengelolaan (termasuk implementasi manajemen berbasis sekolah) dan standarnya,
k.      Administrasi standar penilaian pendidikan,
l.        Administrasi unit produksi sekolah (untuk SMK Dan MAK)
Istilah manager digunakan untuk lemabaga/instamsi yg mengutamakan keuntungan komersial. Management à manager. Istilah administrasi digunakan untuk lemabaga/instansi yg sifatnya lebih mengutamakan kepentingan sosial. Administrasi à administrator. Administrasi=Management à bertugas perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian (P4) sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien.
2.      TEORI KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu: pemimpin sebagai subjek dan yang dipimpin sebagai objek. Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan di dalam menjalankan ke-pemimpinannya.
Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin.
Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama. Adaa beberapa pengertian kepemimpinan, antara lain:
a.       Menurut Tannebaum, Weschler and Nassarik (1961, 24) Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu.
b.      Menurut Shared Goal, Hemhiel & Coons (1957, 7) Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
c.       Menurut Rauch & Behling (1984, 46) Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama.
d.      Kepemimpinan adalah kemampuan seni atau tehnik untuk membuat sebuah kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya.
e.       Menurut Jacobs & Jacques (1990, 281) Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan.
f.       Kreiner menyatakan bahwa leadership adalah proses mempengaruhi orang lain yang mana seorang pemimpin mengajak anak buahnya secara sekarela berpartisipasi guna mencapai tujuan organisasi.
g.      Hersey menjelaskan bahwa leadership adalah usaha untuk mempengaruhi individual lain atau kelompok. Seorang pemimpin harus memadukan unsur kekuatan diri, wewenang yang dimiliki, ciri kepribadian dan kemampuan sosial untuk bisa mempengaruhi perilaku orang lain.
Pada dasarnya suatu kepemimpinan muncul bersamaan dengan adanya peradaban manusia yaitu sejak zaman awal peradaban terjadi perkumpulan bersama yang kemudian bekerja sama untuk mempertahankan hidupnya dari kepunahan, sehingga perlu suatu kepemimpinan. Pada soal itu seorang yang dijadikan pemimpin adalah orang yang paling kuat, paling cerdas dan paling pemberani. Jadi kepemimpinan muncul karena adanya peradaban dan perkumpulan antara beberapa manusia.
Mengenai sebab-musabab munculnya pemimpin telah dikemukakan berbagai pandangan dan pendapat yang mana pendapat tersebut berupa teori yang dapat dibenarkan secara ilmiah, ilmu pengetahuan atau secara praktek. Munculnya pemimpin dikemukan dalam beberapa teori, yaitu;
a.      Teori pertama, disebut teori genetis, yang berpendapat bahwa seseorang akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk menjadi pemimpin; dengan kata lain ia mempunyai bakat dan pembawaan untuk menjadi pemimpin. Menurut teori ini tidak setiap orang bisa menjadi pemimpin, hanya orang-orang yang mempunyai bakat dan pembawaan saja yang bisa menjadi pemimpin. Maka munculah istilah “leaders are borned not built”.
b.      Teori kedua, disebut teori sosial, yang mengatakan bahwa seseorang akan menjadi pemimpin kalau lingkungan, waktu atau keadaan memungkinkan ia menjadi pemimpin. Setiap orang bisa memimpi asal diberi kesempatan dan diberi pembinaan untuk menjadi pemimpin walaupun ia tidak mempunyai bakat atau pembawaan. Maka munculah istilah “leaders are built not borned”.
c.       Teori ketiga, disebut teori ekologis, merupakan gabungan dari teori yang pertama dan yang kedua, ialah untuk menjadi seorang pemimpin perlu bakat dan bakat itu perlu dibina supaya berkembang. Kemungkinan untuk mengembangkan bakat ini tergantung kepada lingkungan, waktu dan keadaan.
d.      Teori keempat, disebut teori situasi. Menurut teori ini setiap orang bisa menjadi pemimpin, tetapi dalam situasi tertentu saja, karena ia mepunyai kelibihan-kelebihan yang diperlukan dalam situasi itu. Dalam situasi lain dimana kelebihan-kelebiahannya itu tidak diperlukan, ia tidak akan menjadi pemimpin, bahkan mungkin hanya menjadi pengikut saja.
Dengan demikian seorang pemimpin yang ingin meningkatkan kemampuan dan kecakapannya dalam memimpin, perlu mengetahui ruang lingkup gaya kepemimpinan yang efektif.
Para ahli di bidang kepemimpinan telah meneliti dan mengembangkan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda sesuai dengan evolusi teori kepemimpinan. Untuk ruang lingkup gaya kepemimpinan terdapat tiga pendekatan utama yaitu: pendekatan sifat kepribadian pemimpin, pendekatan perilaku pemimpin, dan pendekatan situasional atau kontingensi.
Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan kepemimpinan. Untuk berbagai usaha dan kegiatannya diperlukan upaya yang terencana dan sistematis dalam melatih dan mempersiapkan pemimpin baru. Oleh karena itu, banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan yang menghasilkan berbagai teori tentang kepemimpinan. Teori kepemimpinan merupakan penggeneralisasian suatu seri perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinannya, dengan menonjolkan latar belakang historis, sebab-sebab timbulnya kepemimpinan, persyaratan pemimpin, sifat utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya serta etika profesi kepemimpinan (Kartini Kartono, 1994: 27).
Teori kepemimpinan pada umumnya berusaha untuk memberikan penjelasan dan interpretasi mengenai pemimpin dan kepemimpinan dengan mengemukakan beberapa segi antara lain : Latar belakang sejarah pemimpin dan kepemimpinan Kepemimpinan muncul sejalan dengan peradaban manusia. Pemimpin dan kepemimpinan selalu diperlukan dalam setiap masa. Sebab-sebab munculnya pemimpin Ada beberapa sebab seseorang menjadi pemimpin, antara lain:
a.       Seseorang ditakdirkan lahir untuk menjadi pemimpin. Seseorang menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri.
b.      Seseorang menjadi pemimpin bila sejak lahir ia memiliki bakat kepemimpinan kemudian dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman serta sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Untuk mengenai persyaratan kepemimpinan selalu dikaitkan dengan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. Berikut adalah bebrapa teori-teori dalam Kepemimpinan:
a.      Teori Sifat
Analisis ilmiah tentang kepemimpinan berangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan ”The Greatma Theory”. Dalam perkembanganya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwa sifat – sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain : sifat fisik, mental, dan kepribadian.
Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki pemimpin itu. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya.
Ciri-ciri ideal yang perlu dimiliki pemimpin menurut Sondang P Siagian (1994:75-76) adalah: – pengetahuan umum yang luas, daya ingat yang kuat, rasionalitas, obyektivitas, pragmatisme, fleksibilitas, adaptabilitas, orientasi masa depan; – sifat inkuisitif, rasa tepat waktu, rasa kohesi yang tinggi, naluri relevansi, keteladanan, ketegasan, keberanian, sikap yang antisipatif, kesediaan menjadi pendengar yang baik, kapasitas integratif; – kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang, analitik, menentukan skala prioritas, membedakan yang urgen dan yang penting, keterampilan mendidik, dan berkomunikasi secara efektif.
Walaupun teori sifat memiliki berbagai kelemahan (antara lain : terlalu bersifat deskriptif, tidak selalu ada relevansi antara sifat yang dianggap unggul dengan efektivitas kepemimpinan) dan dianggap sebagai teori yang sudah kuno, namun apabila kita renungkan nilai-nilai moral dan akhlak yang terkandung didalamnya mengenai berbagai rumusan sifat, ciri atau perangai pemimpin; justru sangat diperlukan oleh kepemimpinan yang menerapkan prinsip keteladanan.
Keith Devis merumuskan 4 sifat umum yang berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, antara lain :
1)      Kecerdasan
Berdasarkan hasil penelitian, pemimpin yang mempunyai kecerdasan yang tinggi di atas kecerdasan rata – rata dari pengikutnya akan mempunyai kesempatan berhasil yang lebih tinggi pula. Karena pemimpin pada umumnya memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengikutnya.
2)      Kedewasaan dan Keluasan Hubungan Sosial
Umumnya di dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan internal maupun eksternal, seorang pemimpin yang berhasil mempunyai emosi yang matang dan stabil. Hal ini membuat pemimpin tidak mudah panik dan goyah dalam mempertahankan pendirian yang diyakini kebenarannya.
3)      Motivasi Diri dan Dorongan Berprestasi
Seorang pemimpin yang berhasil umumnya memiliki motivasi diri yang tinggi serta dorongan untuk berprestasi. Dorongan yang kuat ini kemudian tercermin pada kinerja yang optimal, efektif dan efisien.
4)      Sikap Hubungan Kemanusiaan
Adanya pengakuan terhadap harga diri dan kehormatan sehingga para pengikutnya mampu berpihak kepadanya.
b.      Teori Perilaku
Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, pemimpin mempunyai deskripsi perilaku:
1)      Perilaku seorang pemimpin yang cenderung mementingkan bawahan memiliki ciri ramah tamah,mau berkonsultasi, mendukung, membela, mendengarkan, menerima usul dan memikirkan kesejahteraan bawahan serta memperlakukannya setingkat dirinya. Di samping itu terdapat pula kecenderungan perilaku pemimpin yang lebih mementingkan tugas organisasi.
2)      Berorientasi kepada bawahan dan produksi perilaku pemimpin yang berorientasi kepada bawahan ditandai oleh penekanan pada hubungan atasan-bawahan, perhatian pribadi pemimpin pada pemuasan kebutuhan bawahan serta menerima perbedaan kepribadian, kemampuan dan perilaku bawahan. Sedangkan perilaku pemimpin yang berorientasi pada produksi memiliki kecenderungan penekanan pada segi teknis pekerjaan, pengutamaan penyelenggaraan dan penyelesaian tugas serta pencapaian tujuan. Pada sisi lain, perilaku pemimpin menurut model leadership continuum pada dasarnya ada dua yaitu berorientasi kepada pemimpin dan bawahan. Sedangkan berdasarkan model grafik kepemimpinan, perilaku setiap pemimpin dapat diukur melalui dua dimensi yaitu perhatiannya terhadap hasil/tugas dan terhadap bawahan/hubungan kerja. Kecenderungan perilaku pemimpin pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari masalah fungsi dan gaya kepemimpinan (JAF.Stoner, 1978:442-443)
c.       Teori Situasional
Keberhasilan seorang pemimpin menurut teori situasional ditentukan oleh ciri kepemimpinan dengan perilaku tertentu yang disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan dan situasi organisasional yang dihadapi dengan memperhitungkan faktor waktu dan ruang. Faktor situasional yang berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan tertentu menurut Sondang P. Siagian (1994:129) adalah
1)      Jenis pekerjaan dan kompleksitas tugas;
2)      Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan;
3)      Persepsi, sikap dan gaya kepemimpinan;
4)      Norma yang dianut kelompok;
5)      Rentang kendali;
6)      Ancaman dari luar organisasi;
7)      Tingkat stress;
8)      Iklim yang terdapat dalam organisasi.
Efektivitas kepemimpinan seseorang ditentukan oleh kemampuan “membaca” situasi yang dihadapi dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar cocok dengan dan mampu memenuhi tuntutan situasi tersebut. Penyesuaian gaya kepemimpinan dimaksud adalah kemampuan menentukan ciri kepemimpinan dan perilaku tertentu karena tuntutan situasi tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut berkembanglah model-model kepemimpinan berikut:
a.      Model kontinuum Otokratik-Demokratik
Gaya dan perilaku kepemimpinan tertentu selain berhubungan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, juga berkaitan dengan fungsi kepemimpinan tertentu yang harus diselenggarakan. Contoh: dalam hal pengambilan keputusan, pemimpin bergaya otokratik akan mengambil keputusan sendiri, ciri kepemimpinan yang menonjol ketegasan disertai perilaku yang berorientasi pada penyelesaian tugas.Sedangkan pemimpin bergaya demokratik akan mengajak bawahannya untuk berpartisipasi. Ciri kepemimpinan yang menonjol di sini adalah menjadi pendengar yang baik disertai perilaku memberikan perhatian pada kepentingan dan kebutuhan bawahan.
b.      Model ” Interaksi Atasan-Bawahan”
Menurut model ini, efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada interaksi yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya dan sejauhmana interaksi tersebut mempengaruhi perilaku pemimpin yang bersangkutan. Seorang akan menjadi pemimpin yang efektif, apabila: * Hubungan atasan dan bawahan dikategorikan baik; * Tugas yang harus dikerjakan bawahan disusun pada tingkat struktur yang tinggi; * Posisi kewenangan pemimpin tergolong kuat.
c.       Model Situasional
Model ini menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa bawahan. Dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam model ini adalah perilaku pemimpin yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atasan-bawahan. Berdasarkan dimensi tersebut, gaya kepemimpinan yang dapat digunakan adalah:
1)      Memberitahukan;
2)      Menjual;
3)      Mengajak bawahan berperan serta;
4)      Melakukan pendelegasian.
d.      Model ” Jalan- Tujuan ”
Seorang pemimpin yang efektif menurut model ini adalah pemimpin yang mampu menunjukkan jalan yang dapat ditempuh bawahan. Salah satu mekanisme untuk mewujudkan hal tersebut yaitu kejelasan tugas yang harus dilakukan bawahan dan perhatian pemimpin kepada kepentingan dan kebutuhan bawahannya. Perilaku pemimpin berkaitan dengan hal tersebut harus merupakan faktor motivasional bagi bawahannya.
e.       Model “Pimpinan-Peran serta Bawahan”
Perhatian utama model ini adalah perilaku pemimpin dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan. Perilaku pemimpin perlu disesuaikan dengan struktur tugas yang harus diselesaikan oleh bawahannya. Salah satu syarat penting untuk paradigma tersebut adalah adanya serangkaian ketentuan yang harus ditaati oleh bawahan dalam menentukan bentuk dan tingkat peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan. Bentuk dan tingkat peran serta bawahan tersebut “didiktekan” oleh situasi yang dihadapi dan masalah yang ingin dipecahkan melalui proses pengambilan keputusan.



3.      KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI
Dalam sebuah organisasi, baik yang dibentuk secara formal maupun informal membutuhkan sebuah kepemimpian untuk dapat mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Terdapat 4 aspek yang yaitu kepemimpinan, administrasi, manajemen, dan organisasi. Kepemimpinan merupakan inti dari organisasi yang memegang peranan sangat penting, karena pemimpin adalah orang utama yang menentukan hitam putihnya organisasi yang dibawahinya. Kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga sering dikenal sebagai kemampuan untuk memperoleh konsensus anggota organisasi untuk melakukan tugas manajemen agar tujuan organisasi tercapai.
Dalam memahami berjalannya sebuah organisasi, penting bagi kita untuk mengetahui budaya apakah yang dianut dan dikembangkan oleh orang-orang di dalam organisasi tersebut. Secara umum, Edgar Schein (2002) dalam tulisannya tentang Organizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai berikut :
A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems. (dalam Akhmad Sudrajat)

Dari pengertian tersebut, terdapat kata kunci yaitu shared basic assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan. Duverger mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas. Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya.
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic  assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing; dan (4) shared feelings.
Kepemimpinan dan budaya organisasi adalah dua hal yang saling mempengaruhi. Kepemimpinan yang baik dan kuat dapat merubah sebuah budaya organisasi yang berkembang kurang baik, sebaliknya budaya organisasi yang sudah mengakar kuat pada anggota organisasi tidak akan diubah dengan mudahnya oleh seorang pemimpin, apalagi jika pemimpin masih baru di lingkungan organisasi.
Secara sekilas bahwa budaya organisasi yang dianut oleh para pelaku dalam organisasi pendidikan umumnya kurang memiliki komitmen yang tinggi terhadap pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat dari sikap dan perilaku mereka selama workshop yang cenderung tidak fokus, terlihat sikap egoisme masing-masing individu dalam pelaksanaan tugas. Seperti yang telah dibahas dalam diskusi di kelas, bahwasanya pegawai negeri memang pada umumnya bertindak demikian pada instansi manapun tidak hanya pada instansi pendidikan. Jika ada acara seminar atau workshop seperti demikian, apalagi ditugaskan ke luar kota, mereka hanya berorientasi pada hal-hal yang tidak seharusnya seperti jalan-jalan, belanja, dan sebagainya. Seharusnya tujuan dari kegiatan tersebut adalah menambah pengetahuan dan ilmu serta pengalaman yang dapat diterapkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya sehingga membawa nilai positif dan kemajuan. Tapi nampaknya hal ini sulit untuk diwujudkan, mengingat budaya yang mereka anut pada umunya adalah demikian. Disinilah peran pemimpin dalam hal ini adalah pemimpin dinas pendidikan untuk membangun mindset para pelaku pendidikan dan merubah budaya yang ada menjadi lebih positif.
Perubahan memang sulit untuk dilakukan, pasti ada pihak yang pro dan kontra terhadap hal tersebut. Menghadapi hal ini pemimpin pendidikan mungkin harus lebih memberikan perhatian terhadap perilaku para pelaku pendidikan. Ada beberapa hal yang penulis catat dari hasil diskusi di kelas mengenai kriteria kepemimpinan pendidikan, diantaranya :
a.       Menganalisis munculnya persoalan rendahnya komitmen para pegawai, apakah terkait dengan motivasi, gaji atau persoalan lain yang menyangkut kelompok maupun individu. Hal ini perlu digali lebih mendalam melalui individu atau kelompok yang bersangkutan agar dapat dicarikan solusi pemecahan masalah secara tepat. Penemuan permasalahan ini dapat dilakukan dalam suasana informal sehingga individu atau kelompok bisa leluasa mengungkapkan permasalahan yang mereka hadapi, harapan maupun keinginan mereka senenarnya.
b.      Pemberian reward and punishment, yaitu adanya penghargaan bagi mereka yang melakukan tugas dengan baik atau mampu berprestasi lebih baik dari lainnya, sedangkan bagi mereka yang melanggar atau tidak bekerja dengan baik pimpinan berhak memberi hukuman. Hal ini dalam prakteknya sulit untuk dilakukan. Pemberian punishment pada pegawai negeri tidaklah semudah pada pegawai swasta. Banyak jalur yang harus dilalui dan hal itu memakan waktu yang lama. Saat ini yang dikembangkan adalah adanya konsekuensi terhadap pelaksanaan tugas yang telah disepakati dari awal bekerja. Adanya sistem renumerasi atau penggajian dengan menerapkan sistem passing grade, disini artinya siapapun yang bekerja berdasarkan grade tertinggi, maka akan memperoleh imbalan yang tinggi pula, sementara siapa yang bekerja pada grade yang rendah maka ia harus puas dengan imbalan yang diperoleh pada tingkatan tersebut. Sistem ini dinilai lebih efektif daripada penerapan punishment yang berat sekalipun, karena sistem ini akan memacu kinerja seseorang untuk lebih produktif.
c.       Pemerataan akses berusaha diantara anggota organisasi. Hal ini penting bagi seorang pimpinan untuk mengetahui sejauhmana kemampuan anggota organisasi dalam pelaksanaan tugas. Individu akan merasa lebih senang atau puas jika ia dilibatkan dalam berbagai kegiatan organisasi. Oleh karena itulah pemimpin perlu memberikan kesempatan yang sama pada setiap anggota organisasi.
d.      Membentuk kelompok think tank, tanpa mengabaikan mereka. Dalam setiap organisasi pasti akan muncul orang-orang atau kelompok yang bertindak sebagai think tank atau pelaksana tugas inti diantara yang lainnya. Biasanya orang-orang ini dipercaya untuk menyelesaiakan tugas di dalam sebuah kelompok. Tanpa adanya orang-orang ini dalam sebuah kelompok organisasi, maka pelaksanaan tugas akan berjalan lambat. Pimpinan harus memahami hal ini dengan adanya pendelegasian kewenangan kepada orang-orang yang mempunyai tipe pemikir dan pekerja dalam sebuah kelompok tugas. Ada semacam penghargaan atau imbalan lebih pada orang-orang yang demikian ini.
e.       Menciptakan iklim kekeluargaan dalam bekerja. Seorang bawahan umumnya akan lebih senang dan bersemangat dalam melaksanakan tugasnya, manakala sudah dekat dengan pimpinan. Mereka akan dengan senang hati melakukan tugas yang diperintahkan dengan baik dan tepat waktu apabila pemimpin menghargai pekerjaan mereka dan tidak semata-mata menyuruh bawahan bekerja karena mereka adalah orang yang bekerja sebagai pimpinan. Bawahan akan merasa lebih dihargai manakala pemimpin, misalnya menggunakan kata ”tolong” dan sebagainya, dalam memberikan tugas kepada bawahan.
f.       Transformasi arah dan tujuan organisasi. Hal ini penting bagi anggota agar mereka mempunyai pegangan dan pandangan ketika mereka akan melakukan tugas. Pemimpin yang baik adalah dapat memberikan pemahaman kepada anggota mengenai arah dan tujuan ketika mereka melakukan tugas apapun.
g.      Adanya kaderisasi anggota. Kaderisasi anggota ini penting untuk mentransfer ilmu dan kemampuan dari orang yang lebih berpengalaman kepada yang lebih muda atau belum berpengalaman. Dalam pelaksanaan tugas tidak mungkin orang-orang terlibat didalamnya akan selalu dapat bekerja dengan kemampuan yang sama setiap waktu. Oleh karena itulah mereka perlu mengajarkan kepada tingkat bawahnya terhadap pelaksanaan tugas, sehingga untuk seterusnya dalam pelaksaan tugas serupa tidak mengalami hambatan.

4.      SIFAT-SIFAT SEORANG PEMIMPIN
Penelitian-penelitian dan teori-teori kepemimpinan dapat diklasifikasikan sebagai pendekatan-pendekatan kesifatan, perilaku, dan situasional (“contingency”) dalam studi tentang kepemimpinan.
a.       Pendekatan pertama memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat (traits) yang  tampak.
b.      Pendekatan kedua bermaksud mengidentifikasi perilaku-perilaku (behaviors) pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif.
c.       Pendekatan ketiga, yaitu pandangan situasional tentang kepemimpinan
Pendekatan pertama dan kedua mempunyai anggapan bahwa seorang individu yang memiliki sifatsifat tertentu atau memperagakan perilaku-perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi kelompok apapun di mana dia berada. Sedangkan pandangan ketiga menganggap bahwa kondisi yang menentukan efektivitas kepemimpinan bervariasi dengan situasi/tugas-tugas yang dilakukan, ketrampilan dan pengharaan bawahan, dan sebagainya. Pandangan ini telah menimbulkn pendekatan “contingency” pada kepemimpinan, yang bermaksud untuk menetapkan faktor-faktor situasional yang menentukan seberapa besar efektivitas situasi gaya kepemimpinan tertentu.
Sifat-sifat ð perilaku ðsituasional – contingency
 
Ketiga pendekatan tersebut akan dibahas secara kronologis, sebagai berikut:


a.      Pendekatan Sifat-sifat (Traits Approach)
Para teoritisi kesifatan adalah kelompok pertama yang bermaksud menjelaskan tentang aspek kepemimpinan. Mereka percaya bahwa para  pemimpin memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan mereka dapat memimpin para pengikutnya. Daftar sifat-sifat ini dapat menjadi sangat panjang tetapi cenderung mencakup energi, pandangan, pengetahuan dan kecerdasan, imajinasi, kepercayaan diri, integritas, kepandaian berbicara, pengendalian dan keseimbangan mental maupun emosional, bentuk fisik, pergaulan sosial dan persahabatan, dorongan, antusiasme, berani, dan sebagainya. Antara pemimpin dan bukan pemimpin dapat dilihat dengan mengidentifikasi sifat-sifat kepribadiannya.
Pendekatan psikologis ini untuk sebagian besar didasarkan atas pengakuan umum bahwa perilaku individu untuk sebagian ditentukan oleh struktur kepribadian. Usaha sistemik pertama yang dialkukan oelh para psikolog dan para peneliti untuk memahami kepemimpinan adalah mengidentifikasikan sifatsifat pemimpin. Sebagian besar penelitian-penelitian awal tentang kepemimpinan ini bermaksud untuk:
1)      Membandingkan sifat-sifat orang yang menjadi pemimpin dengan sifatsifat yang menajdi pengikut (tidak menjadi pemimpin)
2)      Mengidentifikasi ciri-ciri dan sifat-sifat yang dimiliki oleh para pemimpin efektif. Berbagai studi pembandingan sifat-sifat pemimpin dn bukan pemimpin, sering menemukan bahwa pemimpin cenderung mempunyai tinngkat kecerdasan lebih tinggi, lebih ramah, dan lebih percaya diri daripada yang lain dan mempunyai kebuthan akan kekuasaan lebih besar. Tetapi kombinasi sifat-sifat tertentu yanng akan membedakan antara pemimpin atau calon pemimpin dari pengikut, belum pernah ditemukan.
Penelitian lain mencoba untuk membandingkan sifat-sifat pemimpin yang efektif dan tidak efektif. Berbagai sifat dipelajari untuk menentukan apakah hal-hal tersebut berhubungan dengan kepemimpinan efektif. Seorang peneliti, Edwin Ghiselli, dalam penelitian ilmiahnya telah menunjukkan sifat-sifat tertentu yang tampaknya penting untuk kepemimpinan efektif. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Kemampuan dalam kedudukannya sebagai pengawas (supervisory ability) atau pelaksanan fungsi-fungsi dasar manajemen, terutama pengarahan dan pengawasan pekerjaan orang lain.
2)      Kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, mencakup pencarian tanggungjawab dan keinginan sukses.
3)      Kecerdasan, mencakup kebijakan, pemikiran kraetif dan daya pikir.
4)      Ketegasan, atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan memecahkan masalah-masalah dengan cakap dan tepat.
5)      Kepercayaan diri, atau pandangan terhadap dirinya sebagai kemampuan untuk menghadapi masalah.
6)      Inisiatif, atau kemampuan untuk bertindak tidak  tergantung,mengembangkan serangkaian kegiatan dan menemukan cara-cara baru atau inovasi.
Sedangkan Keith Davis mengikhtisarkan emapt ciri/sifat utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi:
1)      Kecerdasan
2)      Kedewasaan dan keluasan hubungan social
3)      Motivasi diri dan dorongan berprestasi,
4)      Sikap-sikap hubungan manusiawi.
Ada banyak keterbatasan dalam pendekatan yang melihat sifat-sifat kepemimpinan. Namun, tidak tampak sifat-sifat kepemimpinan yang ditemukan secara umum pada semua tokoh tersebut. Dalam kenyataannya, banyak dari mereka mempunyai sifat yang berbeda. Ada juga berbagai kasus di mana seorang pemimpin sukses dalam suatu situasi tetapi tidak dalam situasi lain. Akhirnya, walaupun semua sifat yang dikemukakan para peneliti dapat menjadi yang diinginkan ada dalam diri pemimpin, tetapi tidak satupun sifat yang secara absolut esensial. Namun demikian sifat-sifat kepemimpinan perlu dikembangkan sebagi upaya untuk melahirkan pemimpin.

b.      Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach)
Di akhir tahun 40-an, peneliti mulai mengeksplorasi pemikiran bahwa bagaimana seseorang berperilaku menentukan keefketifan kepemimpinan seseorang, dari pada berusaha menemukan sifat-sifat, maka selanjutnya para peneliti meneliti perilaku dan pengaruhnya pada prsetasi dan kepuasan dari pengikut-pengikutnya. Pada tahun 1947, Rensis Likert mulai mempelajari bagaimana cara yanng paling baik unuk mengelola usaha dari individu-individu untuk mencapai kinerja dan kepuasan sebagaimana yang diinginkan. Tujuan dari kebanyakan penelitian kepemimpinan yang diilhami oleh Tim Likert di University of Michigan (UM) adalah untuk menemukan prinsip dan metode kepemimpinan yang efektif. Kriteria keefektifan yang digunakan dalam banyak studi tersebut adalah:
1)      Produktivitas per jam kerja, atau pengukuran lainnya yang mirip dari keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan produksinya.
2)      Kepuasan kerja dari anggota organisasi.
3)      Tingkat turnover, absensi, dan sakit hati.
4)      Baiya
5)      Bahan terbuang
6)      Motivasi karyawan dan manajerial.
Studi dilakukan pada berbagai jenis organisasi: kimiawi, elektronik, makanan, peralatan berat, asuransi, petroleum, sarana umum, rumah sakit, bank, dan agen pemerintahan. Data didapat dari ribuan karyawan yang melakukanberbagai macam tugas, mulai dari pekerjaan yang tidak terampil sampai dengan pekerjaan penelitian dan pengembangan yang berketerampilan tinggi. Melalui wawancara dengan pemimpin dan pengikutnya, peneliti mengidentifikasikan dua gaya kepemimipinan yang berbeda, disebut sebagai job-centered/ berpusat pada pekerjaan dan employee-centered/ berpusat pada karyawan.
1)      Pemimpin yang job-centered/berpusat pada pekerjaan (tugas)
Pemimpin ini menerapkan pengawasan ketat sehingga bawahan melaksanakan tugas dengan menggunakan prosedur yang telah ditentukan. Pemimpin ini mengandalkan kekuatan paksaan, imbalan, dan hukuman untuk memengaruhi sifat-sifat dan prestasi penngikutnya. Perhatian pada orang dilihat sebagai suatu hal mewah yang tidak dapat selalu dipenuhi pemimpin. Seorang pemimpin dengan orientasi pekerjaan/tugas cenderung menunjukkan pola-pola perilaku berikut :
(a)    Merumuskan secara jelas peranannya sendiri maupun peranan staffnya.
(b)   Menetapkan tujuan-tujuan yang sukar tetapi dapat dicapai, dan memberitahukan orang-orang apa yang diharapkan dari mereka.
(c)    Menentukan prosedur-prosedur untuk mengukur kemajuan dan untuk mengukur pencapaian tujuan itu, yakni tujuan-tujuan yang dirumuskan secara jelas dan khas.
(d)   Melaksanakan peranan kepemimpinan secara aktif dalam merencanakan, mengarahkan dan membimbing, dan mengendalikan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada tujuan.
(e)    Berminat mencapai peningkatan produktivitas.
Pemimpin yang kadar orientasi-pekerjaannya rendah cenderung menjadi tidak aktif dalam mengarahkan perilaku yang beorientasi tujuan, seperti perencanaan dan penjadwalan. Mereka cenderung bekerja seperti para karyawan lain dan tidak membedakan peranan mereka sebagai pemimpin organisasi secara jelas.
2)      Pemimpin yang berpusat orang/karyawan,
Pemimpin ini percaya dalam mendelegasikan pengambilan keputusan dan membantu penngikutnya dalam memuaskan kebutuhannya dengan cara membentuk suatu lingkungan kerja yang suportif. Pemimpin yang berpusat pada karyawan memiliki perhatian dan memotivasi terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan prestasi pribadi pengikutnya dan membina hubungan manusiawi. Tindakan-tindakan ini diasumsikan dapat memajukan pembentukan dan perkembangan kelompok. Orang-orang yang kuat dalam orientasi-orang cenderung menunjukkan pola-pola perilaku berikut :
(a)    Menunjukkan perhatian atas terpeliharanya keharmonisan dalam organisasi dan menghilangkan ketegangan, jika timbul.
(b)   Menunjukkan perhatian pada orang sebagai manusia dan bukan sebagai alat produksi saja.
(c)    Menunjukkan pengertian dan rasahormat pada kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, keinginan-keinginan, perasaan dan ide-ide karyawan.
(d)   Mendirikan komunikasi timbal balik yang baik dengan staff.
(e)    Menerapakan prinsip penekanan ulang untuk meningkatkan prestasi karyawan. Prinsip ini menyatakan bahwa perilaku yang diberi imbalan akan bertambah dalam frekuensinya, dan bahwa perilaku yang tidak diberi imbalan (dihukum) akan berkurang dalam frekuensinya.
(f)    Mendelegasikan kekuasaan dan tanggungjawab, serta mendorong inisiatif.
(g)   Menciptakan suatu suasana kerjasama dan gugus kerja dalam organisasi.
Pemimpin yang orientasi-orangnya rendah cenderung bersikap dingin dalam hubungan dengan karyawan mereka, memusatkan perhatian pada prestasi individu dan persaingan ketimbang kerjasama, serta tidak mendelegasikan kekuasan dan tanggungjawab. Orang-orang yang orientasi-orangnya tinggi belum tentu merupakan orang-orang yang ramah dan sosial; melainkan mereka dapat menangani pelbagai macam orang dengan efektif. Mereka menunjukkan ketrampilan yang tinggi dalam bidang hubungan antar manusia. Dalam hubungan mereka dengan karyawan, mereka cenderung memberikan nasehat, mengkoordinasi, mengarahkan dan mengambil inisiatif daripada mengkritik, melarang dan menghakimi. Mereka bersifat membujuk ketimbang menghukum. Mereka memberikan pengaruh kuat dan pengarahan yang kuat namun dengan cara yang tidak menimbulkan dendam. Ciri-ciri umum yang terdapat pada pemimpin yang orientasi-karyawannya tinggi meliputi hal-hal sebagai berikut :
(a)    Mereka mengerti kebutuhan, tujuan-tujuan, nilai-nilai, batas-batas dan kemampuan mereka sendiri. Pengertian dan pengetahuan tentang diri sendiri ini merupakan suatu prasyarat yang diperlukan untuk hubungan yang baik dengan orang lain.
(b)   Mereka peka terhadap kebutuhan orang lain; mereka membantu orang untuk memenuhi kebutuhan ini. Melalui berkomunikasi dengan para karyawan mereka, para pemimpin dapat mengarahkan usaha-usahanya secara lebih efektif sehingga tujuan perusahaan dan kebutuhan karyawan, kedua-duanya berjalan seiring.
(c)    Mereka dapat menerima dan menghargai nilai-nilai dan gaya hidup yang berlainan. Mereka menunjukkan kemampuan dan kesediaan untuk berhubungan dengan orang-orang yang sama sekali berbeda dengan mereka.
(d)   Mereka melibatkan para karyawan mereka dalam tujuan perusahaan dengan memahami kebutuhan-kebutuhan mereka dan mendelegasikan kekuasaan serta membagi tanggungjawab.
(e)    Mereka memiliki ketrampilan berkomunikasi yang baik, mereka mendengarkan, mengajukan pertanyaan, berdiskusi dan berdebat, dan menggunakan informasi yang mereka terima untuk mengarahkan dan melibatkan karyawan mereka dalam tindakan yang efektif.
Telah terjadi perdebatan untuk mencari jawaban, apakah ada gaya kepemimpinan normatif atau ideal. Perdebatan ini biasanya berpusat pada gagasan ideal itu ada: yaitu gaya yang secara aktif melibatkan bawahan dalam penetapan tujuan dengan menggunakan teknik-teknik manajemen partisipatif dan memusatkan perhatian baik terhadap karyawan dan pekerjaan. Banyak praktisi manajemen merasa konsep tersebut membuat peningkatan prestasi dan perbaikan sikap. Di lain pihak, beberapa penelitian membuktikan pula bahwa pendekatan otokratik di bawah berbagai kondisi, pada kenyataannya lebih efektif disbanding pendekatan lain. Jadi pengalaman-pengalaman kepemimpinan mengungkapkan bahwa dalam berbagai situasi pendekatan partisipatif yang lebih efektif; atau pendekatan orientasi pekerjaan/tugas dibanding pendekatan orientasi karyawan dari sisi lain.
3)      Pendekatan Situasional – Contingency
Pendekatan kesifatan dan perilaku belum sepenuhnya dapat menjelaskan kepemimpinan. Di samping itu, sebagian besar penelitian menyimpulkan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap manajer di bawah seluruh kondisi. Maka teori kepemimpinan situasional mengusulkan bahwa keefektifan kepemimpinan tergantung pada kesesuaian antara kepribadian, tugas, kekuatan, sikap, persepsi dan situasi. Teori situasional yang terkenal adalah: (1) rangkaian kesatuan kepemimpinan dari Tannembaum dan Schmidt, (2) toeri “contingency” dari Fiedler, dan (3) teori siklus-kehidupan dari Harsey dan Blanchard.

5.      SITUASIONAL KEPEMIMPINAN
Pengembangan teori situasional dalam kepemimpinan merupakan penyempurnaan dari kelemahan-kelemahan teori yang ada sebelumnya. Dasarnya adalah teori contingensi dimana pemimpin efektif akan melakukan diagnose situasi, memilih gaya kepemimpinan yang efektif dan menerapkan secara tepat. Empat dimensi situasi secara dinamis akan memberikan pengaruh terhadap kepemimpinan seseorang.
a.       Kemampuan manajerial : kemampuan ini meliputi kemampuan sosial, pengalaman, motivasi dan penelitian terhadap reward yang disediakan oleh perusahaan.
b.      Karakteristik pekerjaan : tugas yang penuh tantangan akan membuat seseorang lebih bersemangat, tingkat kerjasama kelompok berpengaruh efektivitas pemimpinnya.
c.       Karakteristik organisasi : budaya organisasi, kebijakan, birokrasi merupakan faktor yang berpengaruh pada efektivitas pemimpinnya.
d.      Karakteristik pekerja : kepribadian, kebutuhan, ketrampilan, pengalaman bawahan akan berpengaruh pada gaya memimpinnya.
Fiedler Contingency model menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif tergantung pada situasi yang dihadapi dan perubahan gaya bukan merupakan suatu hal yang sulit. Fiedler memperkenalkan tiga variabel yaitu:
a.        Task structure : keadaan tugas yang dihadapi apakah structured task atau unstructured task.
b.       Leader-member relationship : hubungan antara pimpinan dengan bawahan, apakah kuat (saling percaya, saling menghargai) atau lemah.
c.        Position power : ukuran aktual seorang pemimpin, ada beberapa power yaitu:
1)      Legitimate power : adanya kekuatan legal pemimpin.
2)      Reward power : kekuatan yang berasal imbalan yang diberikan pimpinan.
3)      Coercive power : kekuatan pemimpin dalam memberikan ancaman.
4)      Expert power : kekuatan yang muncul karena keahlian pemimpinnya.
5)      Referent power : kekuatan yang muncul karena bawahan menyukai pemimpinnya.
6)      Information power : pemimpin mempunyai informasi yang lebih dari bawahannya.
Model kepemimpinan situasional 'Life Cycle' diperkenalkan oleh Harsey & Blanchard, mereka mengembangkan model kepemimpinan situasional efektif dengan memadukan tingkat kematangan anak buah dengan pola perilaku yang dimiliki pimpinannya. Terdapat 4 tingkat kematangan bawahan, yaitu:
a.       M 1 : bawahan tidak mampu dan tidak mau atau tidak ada keyakinan.
b.      M 2 : bawahan tidak mampu tetapi memiliki kemauan dan keyakinan bahwa ia biasa.
c.       M 3 : bawahan mampu tetapi tidak mempunyai kemauan dan tidak yakin.
d.      M 4 : bawahan mampu dan memiliki kemauan dan keyakinan untuk menyelesaikan tugas.
Ada 4 gaya yang efektif untuk diterapkan dalam model ini, yaitu:
a.       Gaya 1 : telling, pemimpin memberi instruksi dan mengawasi pelaksanaan tugas dan kinerja anak buahnya.
b.      Gaya 2 : selling, pemimpin menjelaskan keputusannya dan membuka kesempatan untuk bertanya bila kurang jelas.
c.       Gaya 3 : participating, pemimpin memberikan kesempatan untuk menyampaikan ide-ide sebagai dasar pengambilan keputusan.
d.      Gaya 4 : delegating, pemimpin melimpahkan keputusan dan pelaksanaan tugas kepada bawahannya.

6.      KEPEMIMPINAN DALAN PENDIDIKAN KEJURUAN
Dalam dunia manajemen dan kepemimpinan, banyak diperdebatkan tentang dua konsep yang saling bertentangan yaitu apakah (1) seorang bisa menjadi pemimpin jika memiliki power, ataukah (2) seseorang menjadi pemimpin terlebih dahulu baru kemudian mendapatkan power. Perbedaan pendapat tentang kedua hal ini masih berlangsung hingga kini. Memang tidak ada hal yang mutlak dalam ilmu manajemen dan kepemimpinan, namun secara umum pendapat yang pertama lebih diterima sebagai suatu teori yang ideal. Kepemimpinan adalah semacam “reward” dari usaha seseorang mengumpulkan power. Kemudian power itu akan semakin bertambah karena adanya otoritas yang didapatkan saat memegang jabatan kepemimpinan tertentu. Dalam konteks kepemimpinan pendidikan kejuruan, terdapat dua level kepemimpinan, yaitu:
a.       Kepemimpinan institusi pemerintah yang mengurusi pendidikan kejuruan, dan
b.      Kepemimpinan lembaga pendidikan kejuruan.
Dalam hubungan dengan kepemimpinan dalam institusi pemerintah yang mengurusi pendidikan kejuruan, baik di tingkat pusat maupun daerah, maka tugas pokoknya lebih banyak ke pembuatan kebijakan, koordinasi tingkat tinggi dalam implementasi kebijakan, monitoring dan evaluasi antar instansi dan lembaga pendidikan, serta membangun hubungan baik dengan lembaga legislatif dan dunia industri. Pimpinan pada level ini sebaiknya telah memiliki pengalaman kerja langsung di industri ataupun lembaga pendidikan kejuruan sehingga memiliki sense yang baik dari segi operasional dalam bidang pendidikan kejuruan.
Dengan tugas pokok seperti ini maka seorang pemimpin yang ditempatkan pada posisi ini harus benar-benar memiliki keahlian, informasi dan relasi yang memadai agar bisa mengemban tugasnya dengan baik. Untuk kepemimpinan tingkat lembaga pendidikan kejuruan, maka yang diperlukan lebih kearah kemampuan operasional penyelenggaraan proses pendidikan, koordinasi internal dan eksternal, serta monitoring dan evaluasi internal. Pemimpin dengan posisi ini harus memiliki kemampuan tinggi secara teknis dalam penyelenggaraan proses pendidikan kejuruan. Pimpinan lembaga pendidikan kejuruan juga harus mampu membangun relasi yang kuat dengan mitra industri agar mampu menangkap kebutuhan dunia kerja dan memasarkan lulusannya ke pasar kerja. Disamping itu pemimpin pada tingkat ini harus mampu membangun hubungan yang harmonis dengan para guru, staf, siswa dan orangtua siswa karena mereka adalah customer langsung dari pimpinan lembaga.
Pemilihan pimpinan di institusi pemerintahan sering tidak mempertimbangkan kecocokan individu dengan spesifikasi yang dibutuhkan dalam jabatan, namun ada banyak faktor lain yang ikut mempengaruhi seperti kekuatan politik dan kepentingan lainnya. Hal ini memang sangat menyulitkan untuk mendapat pemimpin yang benar-benar memiliki spesifikasi sesuai dengan jabatannya. Hal yang sama terjadi pada pemilihan pimpinan lembaga pendidikan kejuruan, baik di lembaga milik pemerintah ataupun swasta.
Salah satu masalah penting dalam konteks “power of leader” yang harus selalu diwaspadai adalah adanya kecenderung “misuse of power” atau bahkan lebih jauh terjadinya “abuse of power”. Hal ini terjadi karena pengaruh banyak faktor, diantaranya adalah tidak adanya “check and balance” dalam jalannya roda birokrasi. Hal ini sebenarnya bisa dihindari jika ada suatu sistem manajemen yang baik dan memiliki mekanisme kontrol terhadap penggunaan kekuasaan yang sudah baik dan teruji. Namun di indonesia hal ini belum bisa diwujudkan sehingga kemungkinan terjadi penyalahgunaan kekuasaan masih tinggi. Idealnya seorang pimpinan harus bisa menyeimbangkan antara antara kepentingan diri sendiri dan kelompoknya dengan kepentingan orang lain atau publik.

7.      MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN KEJURUAN YANG DINAMIS
Dalam pembahasan ini, cara untuk mengembangkan pendidikan kejuruan yang memiliki sifat yang dinamis diperlukan seorang pemimpin mengerti betul mengenai konsep pendidikan kejuruan, ia harus memiliki baground ilmu kependidikan kejuruan dan ilmu perilaku manusia (behavioral scientist). Seorang leader dalam sekolah kejuruan juga harus dapat memahami dan menilai perubahan lingkungan dan social, memiliki relasi, dapat mengkonsep dan menetapkan tujuan baru, memiliki kompetensi untuk merencanakan, mengoperasikan serta mengevaluasi program kejuruan. Suatu lembaga pendidikan membutuhkan generasi baru yang memiliki keterampilan berelasi, teknik, administrasi dan memiliki konsep sebagai seorang visioner.

D.    PENUTUP
Kata pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang lain. Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang.Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).

E.     DAFTAR PUSTAKA

Cahyo, Adi. 2011. Konsep & Teori Kepemimpinan. 2011. Makalah (tidak diterbitkan).

 

Faraz, J. Nahiuyah. 2004. Kepemimpinan dan  Perilaku  Manusia dalam Organisasi. Makalah-UNY (tidak diterbitkan).


Geek. 2006. Leadership: Teori Kepemimpinan.


Mastuti, Fauziyah. 2009. Pola Kepemimpinan Organisasi Pendidikan di Jawa Tengah Ditinjau dari Filsafat Pendidikan Menurut Kaplan. 2009. Makalah-UNDIP (tidak diterbitkan).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar